Standar Ganda Wahhabi Dalam Masalah Takwil
Standar Ganda Wahhabi Dalam Masalah Takwil
Ibn Utsaimin al-Mujassim menyatakan bahwa diperbolehkan untuk mengalihkan makna dari zahir teks dan ia menyebut hal itu sebagai tafsir. Dia berkata dalam menjawab seorang penanya yang bertanya tentang penafsiran firman Allah Ta'ala: "Yadullah Fauqo Aidihim" (Al-Fath: 10), dengan teks sebagai berikut:
«ينبغيأننعلم أنالتأويل عند أهل السّنة ليس مذمومًا كله، بل المذموم منه ما لم يدل عليه دليل، وما دل عليه الدليل يسمى تÙÂسيرًا سواء كانالدليل متصلًا بالنص أو منÙÂصلًا عنه، ÙÂصر٠الدليل عنظاهره ليس مذمومًا على الإطلاق. ومثال التأويل بالدليل المتصل ما جاء ÙÂيالØÂديث الثابت ÙÂيصØÂيؠمسلم ÙÂيقوله تعالى ÙÂيالØÂديث القدسيّ «عَبْدÙÂيجعْت٠ÙÂَلَمْ تÙÂطْعÙÂمْنÙÂيومَرÙÂضْت٠ÙÂلمْ تَعÙÂدْني» ÙÂظاهر هذا الØÂديث أنالله Ù†ÙÂسه هو الذيجاع وهو الذيمرض، وهذا غير مراد قطعًا، ÙÂÙÂسّر هذا الØÂديث بنÙÂس الØÂديث» اهـ.
مجموع ÙÂتاوى ابنعثيمين، ابنعثيمين، 1/168.
"Seharusnya kita mengetahui bahwa takwil menurut Ahlus Sunnah tidak tercela seluruhnya, melainkan yang tercela darinya adalah yang tidak didukung oleh dalil, dan apa yang didukung oleh dalil disebut tafsir, baik dalil tersebut tersambung dengan teks atau terputus darinya. Mengalihkan dalil dari makna zahirnya tidak tercela secara mutlak. Contoh takwil dengan dalil yang muttashil (tersambung) adalah apa yang terdapat dalam hadis sahih dalam Sahih Muslim , firman Allah dalam hadis Qudsi: "Hamba-Ku, Aku lapar, tetapi kamu tidak memberiku makan. Aku sakit, tetapi kamu tidak menjengukku." Maka makna zahir dari hadits ini adalah bahwa Allah sendiri yang lapar dan yang sakit, dan pastilah bukan ini yang dimaksud dari hadits ini, maka hadits ini ditafsirkan dengan hadits itu sendiri".
Pernyataan ini menghancurkan dan meruntuhkan seluruh keyakinan yang mereka nyatakan tentang berpegang pada makna zahir nash-nash mutasyabihat dan penolakan terhadap takwil, serta mem-bathil-kan pengalihan lafadz dari zahirnya. Dalam hal ini dia menyatakan bahwa ada makna zahir yang secara pasti bukan yang dimaksud, dan disini muncul kegoncangan untuk menetapkan beberapa takwil yang baik/benar (mahmuda), setelah sebelumnya mereka menetapkan bahwa takwil adalah Ta'thil (pengingkaran), thagut, menurut pendapat mereka.
Kesimpulannya, takwil sudah terbukti ada sejak generasi ulama Salaf, dan tidak ada kebutuhan untuk meninggalkannya. Bahkan, mereka yang mengingkari takwil Ahlussunnah juga membutuhkannya, seperti yang dilakukan oleh kelompok Musyabbihah ini.
Ahlussunnah telah menetapkan metode takwil yang lengkap dan sistematis berdasarkan prinsip-prinsip yang jelas dan benar. Mereka sering mempersembahkan berbagai riwayat yang diberlakukan takwil didalamnya berdasarkan prinsip dan metode ini. Dengan menganalisis berbagai riwayat penakwilan generasi salaf, kita dapat memahami metode yang kokoh dan mendalam yang diikuti oleh Asy'ariyah dan Maturidiyah - yang merupakan Ahlussunnah Wal Jama'ah - dalam takwil.
Adapun takwil yang mana ia mengeluarkan teks dari zahirnya memiliki dua jenis, yaitu: yang terpuji dan yang tercela. Yang terpuji dibagi menjadi dua:
1. Takwil global (ijmali) yang sudah ada sejak zaman Salaf, dan merupakan madzhab mayoritas salaf.
2. Takwil rinci (tafshili) yang muncul pada zaman Khalaf dan sebagian salaf.
Meninggalkan takwil global dan takwil rinci sangat berbahaya karena menyebabkan anggapan adanya kontradiksi dalam Al-Qur'an dan pertentangan antar ayat. Hal ini tidak diperbolehkan karena Al-Qur'an adalah kitab yang sempurna dan ayat-ayatnya saling melengkapi dan menjelaskan, bukan bertentangan.
Adapun takwil yang tercela adalah yang bertentangan dengan Al-Kitab, As-Sunnah, dan kesepakatan umat Islam.
Contoh takwil tercela adalah apa yang dilakukan oleh mujassimah musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah bertempat atau menetap (at-Tamakkun Wa al-Istiqrar), atau duduk diatas Arsy, atau bertempat diarah atas, atau bertempat dilangit, atau bertempat diluar alam, dan semisalnya dari keyakinan sesat mujassimah musyabbihah.
Ibn Utsaimin al-Mujassim mengakui dirinya menakwil istawa dengan makna al-Uluw wa al-Istiqrar (diarah atas dan bertempat Menetap) dengan teks sebagai berikut:
ÙÂÙ†ØÂننعلم معنى الاستواء أنه العلو والاستقرار ØŒ وهذا هو التأويل المعلوم لنا ØŒ لكننا نجهل كيÙÂيته ÙˆØÂقيقته التيهو عليها وهذا هو التأويل المجهول لنا
Maka Kami mengetahui makna Istiwa itu adalah al-Uluw wa al-Istiqrar (diarah atas dan bertempat Menetap) dan ini adalah Takwil yang diketahui (maklum) bagi kami tetapi kami tidak mengetahui kaifiyatnya (mekanismenya) dan hakikatnya yang sebenarnya dan inilah takwil yang tidak diketahui (majhul) bagi kami (yakni kaifiyat & hakikatnya saja yang tidak diketahui tetapi tetap meyakini bahwa Allah diarah atas dan bertempat menetap (al-Uluw wa al-Istiqrar)).
[Utsaimin, Majmu Fatawa, jilid 4, Hal. 181-182]
Inilah standar ganda kaum Wahhabiyyah Mujassimah Musyabbihah, mereka akan menerima takwil yang mencocoki hawa nafsu tajsim & tasybih yang mereka yakini, tetapi mencela takwil ahlus sunnah wal-jamaah yang mensucikan Allah dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya.
Lihatlah secara jelas & terang benderang kesesatan kaum pengikut hawa nafsu ini.
Wallahu A'lam.
Sumber FB : Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Riau : Asy'ariyah wal Maturidiah
Bid'ah Hanya Karena Beda Nama Amalnya
Ahlus Sunnah wal Jama'ah: Haul. Bid'ah dhalalah
Wahabi: Mengenang kehidupan Yazid Abdul Qadir Jawas. Boleh
Ahlus Sunnah wal Jama'ah: Maulid Nabi. Bid'ah dhalalah
Wahhabi: Tabligh Akbar Kelahiran Nabi Muhammad. Boleh
Ahlus Sunnah wal Jama'ah: sifat 20 berasal dari istiqra' terhadap dalil-dalil yang qath'i. Bid'ah dhalalah. Berasal dari filsafat. Meniru Aristoteles
Wahabi: akidah Tri Tauhid berasal dari istiqra' ulama (dipelopori oleh Ibnu Taimiyah) terhadap dalil-dalil al-Quran dan Sunnah. Boleh
Sumber FB Ustadz : Alnofiandri Dinar