Majnun Abu Hanifah

Majnun Abu Hanifah

‘Majnun’ Abu Hanifah

Kecintaannya yang luar biasa terhadap Imam Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu membuatnya dijuluki dengan ‘majnun’ Abu Hanifah. Tapi kecintaannya tidak lahir dari fanatik buta. Tidak juga karena silau dengan julukan sang imam sebagai ‘al-Imam al-A’zham’ (imam yang agung). Kecintaannya berangkat dari penguasaan yang sangat baik terhadap fiqih sang imam, metode ijtihad dan istinbatnya, kedalaman bahasannya, ketajaman analisanya dan tentunya keagungan pribadinya.

Ialah Syekh al-‘Allamah Zahid al-Kautsari rahimahullah. Wakil Syaikhul Islam terakhir di Daulah Utsmaniyah. 

Sebagai wujud kecintaannya terhadap sang Imam, Syekh Kautsari membela harga diri dan keilmuan sang Imam di hadapan para pengkritik dan orang-orang yang merendahkannya, baik disengaja maupun tidak. Pembelaan itu dituangkan dalam karya yang sangat berbobot dan menjadi rujukan ilmiah sampai hari ini.

Lihatlah misalnya bantahannya terhadap Abu al-Ma’ali al-Juwaini yang lebih dikenal dengan julukan Imam al-Haramain, seorang ulama besar Syafi’iyyah yang sangat masyhur, guru Imam al-Ghazali dan seorang yang disebut sebagai orang paling jenius yang pernah terlahir ke dunia. 

Dalam kitab yang dinisbahkan kepada Imam al-Haramain berjudul Mughits al-Khalq, banyak hal yang dinilai merendahkan Imam Abu Hanifah. Buku itu telah menimbulkan fitnah di Khurasan pada abad kelima hijriah. Sudah banyak bantahan yang ditulis para ulama Hanafiyyah. Tapi karena buku itu masih tersebar dan jadi rujukan banyak pihak maka Syekh Kautsari menulis sebuah bantahan berjudul:

إحقاق الحق بإبطال الباطل فى مغيث الخلق

Ketika membaca buku tersebut, kita seperti dibawa ke masa-masa kejayaan peradaban Islam masa lalu dengan analisa beliau yang tajam, bahasa yang kuat dan adab berdebat yang baik.

*** 

Diantara rujukan utama dalam mengkaji pendapat dan mazhab para tabi’in adalah kitab al-Mushannaf karya Imam Ibnu Abi Syaibah. Tapi dalam kitab itu juga, Ibnu Abi Syaibah memuat hadits dan atsar yang ia klaim bahwa Abu Hanifah menyelisihinya. Maka Syekh Kautsari menulis bantahan terhadap Ibnu Abi Syaibah yang diberinya judul:

النكت الطريفة فى التحدث عن ردود ابن أبي شيبة على أبي حنيفة

Di kitab ini, kemampuan dan kepiawaian Syekh Kautsari dalam dunia sanad dan matan sangat kelihatan. Karena yang ia bantah bukan orang sembarangan; guru dari para guru yang tak mudah ada tandingan.

*** 

Yang tak kalah hebatnya, bantahan yang dilancarkan Syekh Kautsari terhadap Khatib al-Bahgdadi dalam Tarikh Baghdad. Dalam tarjamah (bigorafi) Abu Hanifah, Khatib Baghdadi memuat riwayat dan aqwal yang menyudutkan dan merendahkan Imam Abu Hanifah. Maka ditulislah oleh beliau bantahan yang apik berjudul:

تأنيب الخطيب على ما ساقه فى ارجمة أبي حنيفة من الأكاذيب

Buku ini juga menjadi bukti penguasaan Syekh Kautsari terhadap ilmu hadits dan tarikh. Buku ini mendapat bantahan dari Syekh al-Mu’allimi dalam buku yang berjudul:

التنكيل بما فى تأنيب الكوثري من الأباطيل

Kedua buku ini menjadi sarana yang sangat baik bagi pelajar hadits untuk melatih kemampuan bagaimana menerapkan ilmu jarah wa ta’dil dalam menilai para rawi dan menetapkan status sebuah hadits.

Meskipun judul yang digunakan Syekh al-Mu’allimi lebih keras, karena tankil lebih pedih daripada sekedar ta`nib, tapi Syekh al-Kautsari menyambut baik bantahan tersebut. Ia menulis sebuah risalah:

الترحيب بنقد التأنيب

*** 

Semua itu menunjukkan kecintaan, pengagungan dan pembelaan Syekh Kautsari terhadap Imam Abu Hanifah. Tapi apakah ini berarti beliau mengikuti setiap pendapat Abu Hanifah secara buta?

Kisah pendek dibawah ini bisa menjawabnya.

Suatu ketika, seorang pemuda Azhari datang menemui Syekh Kautsari di rumahnya. Waktu itu ada rencana pemerintah Mesir untuk menghilangkan wakaf ahli atau wakaf dzurriy. Tapi rencana itu ditentang oleh sebagian ulama, diantaranya Syekh Bakhit al-Muthi’iy, Mufti Mesir di masanya.

Pemuda ini setuju dengan rencana pembubaran wakaf ahli itu. Alasannya, wakaf ahli telah menimbulkan banyak permasalahan dan Imam Abu Hanifah sendiri ternyata juga tidak sependapat dengan wakaf. Karena itu ia datang pada Syekh Kautsari untuk meminta dukungan, karena ia tahu Syekh Kautsari adalah seorang faqih hanafi yang ‘tergila-gila’ pada Abu Hanifah.

Tapi tak disangkanya, Syekh Kautsari justeru mengatakan bahwa dalam masalah ini Abu Hanifah keliru. Wakaf adalah amal baik yang disunnahkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat sepeninggal beliau, terutama Sayyiduna Umar bin Khattab ra. Dalam hal ini Abu Hanifah telah mengikuti pendapat Syuraih al-Qadhi tanpa pengkajian yang mendalam. 

Syekh Kautsari menulis:

كان يظن بي من بالغ إجلالي لأبي حنيفة ومزيد تمسكي به أني أتصلب لكل رأي يروى عنه بدن تخير ولا نظر إلى ما هو من استنباطاته بحججه الباهرة وإلى ما هو من آراء من تقدمه وقد تابعه فيها من غير نظر

“Pemuda itu menyangka, karena saya sangat mengagungkan Abu Hanifah dan sangat berpegang pada mazhabnya, saya akan bersikap kaku (fanatik) terhadap setiap pendapat yang diriwayatkan darinya tanpa seleksi dan menganalisa mana yang merupakan istinbatnya dengan dalil-dalil yang kuat dan mana yang merupakan pendapat orang sebelumnya yang ia ikuti tanpa pengkajian yang mendalam.”

رحم الله علماءنا الذين علمونا كيف يكون الحب والتعظيم والنقد المبني على الحجج مع الأدب الجم والاحترام للجميع

[YJ]

Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi

Info Setelahnya Info Sebelumnya