Safar dan Adab-Adabnya

Safar dan Adab-Adabnya

𝗦𝗔𝗙𝗔𝗥 𝗗𝗔𝗡 𝗔𝗗𝗔𝗕-𝗔𝗗𝗔𝗕𝗡𝗬𝗔 𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻 𝗜

 Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq 

 Ã°Ââ€”®. 𝗦𝗮𝗳𝗮𝗿 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗯𝗲𝗽𝗲𝗿𝗴𝗶𝗮𝗻

Safar secara bahasa artinya bepergian dalam jarak yang jauh.[1] Sedangkan secara istilah dapat didefinisikan dengan :

السفر هو الخروج على قصد قطع مسافة القصر الشرعية فما فوقها

“Safar adalah keluar rumah dengan tujuan menempuh jarak safar yang ditetapkan syariat atau lebih dari itu.”[2]

𝗯. 𝗝𝗲𝗻𝗶𝘀-𝗷𝗲𝗻𝗶𝘀 𝗦𝗮𝗳𝗮𝗿

Para ulama membagi safar menjadi beberapa jenis, kalangan Hanafiyah misalnya menyatakan bahwa aktivitas bepergian itu dibagi menjadi tiga, yakni : yang pertama adalah safar dalam ketaatan yakni bepergiannya seseorang untuk haji atau jihad. Yang kedua adalah safar mubah seperti untuk berdagang atau jalan-jalan dan yang ketiga ada safar maksiat yakni bepergiannya seseorang untuk berbuat sia-sia, mencuri dan lainnya.[3]

Sedangkan jumhur ulama yakni dari kalangan Syafi’i, Hanbali dan Maliki menyatakan bahwa secara umum safar itu terbagi menjadi dua, safar dalam ketaatan dan safar dalam kemaksiatan. Dan jika diperinci bisa menjadi empat hukum sebagai berikut :

Safar Wajib, seperti perjalanan untuk menunaikan haji fardhu dan jihad jika telah diwajibkan. 

Sunnah (dianjurkan), yaitu perjalanan yang berkaitan dengan ketaatan sebagai pendekatan diri kepada Allah, seperti perjalanan untuk berbakti kepada orang tua, menyambung tali silaturahmi, mencari ilmu, atau untuk mentadabburi kebesaran ciptaan Allah.

Mubah, seperti perjalanan untuk berdagang.

Haram, yaitu perjalanan untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala.[4]

𝗰. 𝗔𝗱𝗮𝗯-𝗮𝗱𝗮𝗯 𝘀𝗮𝗳𝗮𝗿

Berikut ini adalah diantara adab-adab dalam melakukan safar yang hendaknya diperhatikan dan dijaga oleh seorang muslim yang hendak bepergian, traveling atau jalan-jalan.

𝟭. 𝗡𝗶𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗲𝗻𝗮𝗿 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗕𝗲𝗽𝗲𝗿𝗴𝗶𝗮𝗻

Diantara hal yang harus dijaga oleh seorang muslim dalam setiap pekerjaannya adalah niat. Karena niat inilah yang akan memberikan nilai atas sebuah amal yang dikerjakan. Niat juga yang akan membuat suatu kebiasaan atau hal mubah lainnya bernilai ibadah, atau sebaliknya menjadikan hal mubah bahkan ibadah menjadi sia-sia karena ketiadaan niat yang baik saat melakukannya.

Rasulullah ï·º bersabda :

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang hanya akan mendapatkan sesuatu sesuai apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari Muslim)

Sehingga ketika kita misalnya hendak melakukan bepergian yang hukumnya mubah seperti jalan-jalan atau tamasya jangan pernah meninggalkan niat yang baik, seperti untuk tadabbur alam, atau mungkin silaturahim, atau untuk menyempatkan hadir di majelis ilmu, bersedekah atau minimal tidak meniatkan adanya hal sia-sia apalagi maksiat dalam safar nanti.

𝟮. 𝗠𝗲𝗺𝗶𝗹𝗶𝗵 𝗧𝗲𝗺𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗷𝗮𝗹𝗮𝗻𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗕𝗮𝗶𝗸

Diantara kesunnahan melakukan perjalanan adalah memilih teman safar dan tidak bepergian sendirian. Bahkan sebagian ulama khususnya dari kalangan syafi’iyyah menganggap makruh safar seorang diri. Berkata al imam Ramli rahimahullah :

..مكروها، ومنه أن ‌يسافر ‌وحده منفردا لا سيما في الليل لخبر أحمد وغيره ﷺ الوحدة في السفر ولعن راكب الفلاة وحده أي إن ظن لحوق ضرر به وقال الراكب شيطان والراكبان شيطانان والثلاثة ركب فيكره أيضا اثنان فقط لكن الكراهة فيهما أخف

“Dan yang makruh, termasuk di antaranya adalah bepergian sendirian, terutama pada malam hari, berdasarkan hadits dari Imam Ahmad dan lainnya: "Nabi ﷺ tidak menyukai kesendirian dalam perjalanan, dan beliau melaknat orang yang bepergian sendirian di padang luas," terutama jika ia mengira akan menghadapi bahaya.

 Nabi ï·º juga bersabda: "Satu orang yang bepergian sendirian adalah bersama setan, dua orang yang bepergian adalah bersama dua setan, dan tiga orang adalah rombongan." Oleh karena itu, bepergian dalam kelompok yang hanya ada dua orang juga makruh, meskipun kemakruhannya lebih ringan daripada bepergian sendirian.”[5]

Namun bila safar tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki keberanian lagi bertaqwa, dia lebih merasa dekat dengan Allah dalam kesendirian dari pada bergabung dalam rombongan, maka dalam hal ini kalangan Syafi’iyyah mengatakan tidak ada kemakruhannya, karena sendirinya menyamai orang lain yang berombongan.[6]

𝟯. 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝘁 𝗮𝗺𝗶𝗿 𝘀𝗮𝗳𝗮𝗿

Diantara adab dan kesunnahan bepergian adalah mengangkat satu pemimpin atau penanggung jawab dalam safar tersebut. Al imam Nawawi dalam kitab riyadhusshalihinnya mencantumkan satu bab berjudul : ‌Disunnahkan Mencari Teman Perjalanan dan Menunjuk Pemimpin diantara Mereka yang ta'at.[7]

Hal ini didasarkan kepada sebuah hadits, di mana Rasulullah ï·º bersabda :

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَكُمْ.

“Jika tiga orang (keluar) untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai ketua rombongan.” (HR. Abu Daud)

Bersambung ...

_______

[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (25/26)

[2] At Ta’rifat hlm. 1985

[3] Al Inayah Syarah al Hidayah (2/46)

[4] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (25/26)

[5] Nihayah al Muhtaj (2/248)

[6] Tuhfah al Muhtaj (2/269)

[7] Riyadhusshalihin hlm. 297 

Safar dan Adab-Adabnya
𝗦𝗔𝗙𝗔𝗥 𝗗𝗔𝗡 𝗔𝗗𝗔𝗕-𝗔𝗗𝗔𝗕𝗡𝗬𝗔 𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻 𝗜𝗜

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq 

𝟰. 𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝗴𝗮 𝗱𝗼𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗱𝘇𝗶𝗸𝗶𝗿 𝘀𝗮𝗳𝗮𝗿

Disunnahkan bagi musafir untuk memperbanyak doa dan dzikir selama safarnya, karena doa seorang musafir termasuk yang mustajabah, sebagaimana disebutkan dalam hadits :

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

"Tiga doa yang mustajab (diterima) yaitu doa orang yang dizalimi, doa orang yang sedang bepergian, dan doa orang tua terhadap anaknya.” HR. Tirmidzi)

Diantara doa-doa atau dzikir yang bisa diamalkan adalah meliputi doa ketika keluar rumah, naik kendaraan, ketika jalan menanjak atau menurun, dan termasuk bacaan dzikir saat melihat hal yang baik ataupun buruk selama di perjalanan.

𝗗𝗼𝗮 𝗸𝗲𝗹𝘂𝗮𝗿 𝗿𝘂𝗺𝗮𝗵

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

“Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada-Nya; tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya.” (HR. Tirmidzi)

𝗗𝗼𝗮 𝗻𝗮𝗶𝗸 𝗸𝗲𝗻𝗱𝗮𝗿𝗮𝗮𝗻

Diantara doa yang bisa kita baca saat mulai menaiki kendaraan adalah :

سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ، وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ

“Mahasuci Dzat yang telah menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat).” (HR. Muslim)

Atau jika ingin menambahkan, membaca doa :

الَلَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى الَلَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، الَلَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِيْ اْلأَهْلِ، الَلَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَاْلأَهْلِ

“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam perjalanan ini, kami memohon perbuatan yang membuat-Mu ridha. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini, dan dekatkanlah jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan yang mengurus keluarga(ku). 

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga.” (HR. Muslim)

Atau dengan menambahkan lafadz doa :

اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari ketersesatan atau disesatkan, tergelincir atau digelincirkan, mendzalimi atau didzalimi dan membodohi atau dibodohi.” (HR. Abu Daud)

Doa di atas bisa untuk kendaraan darat, udara dan juga laut. Namun untuk kendaraan laut bisa dengan mengkhususkan doa sebagai berikut :

بِسْمِ اللهِ مَجْرَهَا وَمُرْسَهَآاِنَّ رَبِّىْ لَغَفُوْرٌرَّحِيْمٌ

"Dengan nama Allah yang menjalankan kendaraan ini berlayar dan berlabuh. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."[1]

𝗠𝗲𝗻𝗱𝗼𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗹𝘂𝗮𝗿𝗴𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝘁𝗶𝗻𝗴𝗴𝗮𝗹𝗸𝗮𝗻

Disunnahkan saat safar untuk berpamitan dan saling mendoakan. Diantara doa yang bisa dibaca adalah :

أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ

“Aku menitipkan kepadamu agama, amanah, dan akhir amalmu kepada Allah.” (HR. Abu Daud)

𝗗𝗼𝗮 𝘀𝗮𝗮𝘁 𝗷𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝗮𝗻𝗷𝗮𝗸 𝗱𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝘂𝗿𝘂𝗻

Termasuk dzikir yang bisa dibaca dalam perjalanan adalah ketika melalui bukit yang mendaki dan ketika menurun. Disunnahkan untuk berdzikir dengan membaca takbir saat melalui jalan mendaki dan membaca tasbih saat jalan menurun.[2] 

Sebagaimana ini didasarkan kepada sebuah hadits riwayat Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma beliau berkata :

وَكَانَ النَّبِيُّ ﷺ وَجُيُوشُهُ إذَا عَلَوا الثَّنَايَا كَبَّرُوا، وَإذَا هَبَطُوا سَبَّحُوا.

 Ã¢â‚¬Å“Bahwa Nabi ï·º dan tentaranya, apabila menapaki jalan bukit maka mereka bertakbir, dan bila turun, mereka bertasbih.” (HR. Abu Daud)

𝗗𝗼𝗮 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝘀𝗶𝗻𝗴𝗴𝗮𝗵 𝗱𝗶 𝘀𝘂𝗮𝘁𝘂 𝘁𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁

Disunnahkan ketika singgah di suatu tempat untuk membaca lafadz dzikir :

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

“Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan mahluk-Nya.”

Disebutkan dalam hadits riwayat imam Muslim bahwa siapa yang ketika singgah di suatu tempat kemudian membaca doa di atas, maka ia tidak akan tertimpa keburukan dan gangguan apapun hingga ia meninggalkan tempat itu.

𝗗𝗼𝗮 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗮𝘀𝘂𝗸𝗶 𝘀𝘂𝗮𝘁𝘂 𝗸𝗼𝘁𝗮 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗱𝗲𝘀𝗮

Disunnahkan membaca doa berikut ini :

اللَّهُمَّ ‌إِنِّي ‌أَسْأَلُكَ ‌خَيْرَهَا ‌وَخَيْرَ ‌أَهْلِهَا ‌وَخَيْرَ ‌مَا ‌فِيهَا، ‌وَأَعُوذُ ‌بِكَ ‌مِنْ ‌شَرِّهَا ‌وَشَرِّ ‌أَهْلِهَا ‌وَشَرِّ ‌مَا ‌فِيهَا

“Ya Allah, aku memohon kebaikan desa/kota ini, kebaikan penduduknya, dan kebaikan yang ada di dalamnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya, keburukan penduduknya, dan keburukan yang ada di dalamnya”. (HR. Ibnu Hibban)

𝗗𝗼𝗮 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗺𝗲𝗹𝗶𝗵𝗮𝘁 𝗵𝗮𝗹 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗮𝗶𝗸 𝗱𝗮𝗻 𝗯𝘂𝗿𝘂𝗸

Dalam perjalanan safar dimungkinkan seorang musafir bertemu dengan hal-hal baik dan menyenangkan, atau sebaliknya melihat hal-hal buruk. Dan seorang muslim ketika melihat hal baik, disunnahkan untuk membaca doa :

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

“Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya semua kebaikan akan menjadi sempurna.”(HR. Ibnu Majah)

Dan ketika melihat hal buruk membaca doa :

الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

“Segala puji bagi Allah dalam keadaan bagaimanapun.” (HR Tirmidzi)

𝗗𝗼𝗮 𝗺𝗮𝘀𝘂𝗸 𝗿𝘂𝗺𝗮𝗵

Ketika Kembali dari safar, hendaknya mengucapkan salam kepada keluarga atau orang yang ada di dalam rumah. Dan setelahnya bisa membaca doa :

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَ الْمَوْلِجِ وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا

“Ya Allah, aku memohon pada-Mu kebaikan ketika masuk dan keluar dari rumah. Dengan nama Allah, kami masuk dan dengan nama Allah kami keluar dan hanya kepada Allah Rabb kami, kami bertawakkal.” (HR. Abu Daud)

𝟱. 𝗦𝗲𝗴𝗲𝗿𝗮 𝗞𝗲𝗺𝗯𝗮𝗹𝗶 𝗷𝗶𝗸𝗮 𝘂𝗿𝘂𝘀𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵 𝘀𝗲𝗹𝗲𝘀𝗮𝗶

Jika urusan dalam safar telah selesai, dianjurkan untuk segera kembali dan tidak menunda-nunda kepulangan tanpa ada kepentingan. Dalam hadits disebutkan :

Apa yang harus dilakukan musafir bila maksudnya telah terlaksana.

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ نَومَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ، فَإذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إلَى أَهْلِهِ

“Safar adalah bagian dari adzab, dimana salah seorang kalian jadi menahan makan, minum dan tidur (karenanya), maka apabila dia telah menyelesaikan tujuannya perjalanannya maka segeralah kembali kepada keluarganya.” (Mutafaqqun ‘alaih)

𝟲. 𝗠𝗲𝗺𝗶𝗹𝗶𝗵 𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗸𝗮𝗺𝗶𝘀 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝘀𝗲𝗻𝗶𝗻 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗺𝗲𝗺𝘂𝗹𝗮𝗶 𝘀𝗮𝗳𝗮𝗿

Dalam sebuah hadits  riwayat sayyidina Ka’ab bin Malik radhiyallahu’anhu beliau berkata :

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَرَجَ يَومَ الخَمِيسِ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ، وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَومَ الخَمِيسِ، وَفي لفظٍ: لَقَلَّمَا كَانَ رَسُولُ الله ﷺ يَخْرُجُ إذَا خَرَجَ فِي سَفَرٍ إلَّا يَومَ الخَمِيسِ

Dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu berkata: Nabi ï·º  berangkat perang ke Tabuk pada hari kamis dan beliau sangat suka bepergian pada hari kamis. Dalam riwayat lain : “Amat sedikit Rasulullah keluar untuk bepergian apabila ingin pergi safar kecuali pada hari Kamis.” (HR. Bukhari)

Dalam al Mausu’ah dikatakan jika tidak bisa memilih hari kamis, maka hendaknya memilih hari senin dengan dalil bahwa Nabi  ï·º saat beliau berhijrah keluar dari rumahnya adalah pada hari senin.[3]

Memilih hari ini bila memang memiliki keluangan waktu untuk memilih. Tentu tidak bisa diterapkan dalam kasus yang khusus, semisal kita janjian dengan seseorang untuk bertemu di suatu kota di hari Rabu, lalu kita sengaja pergi di hari kamis yang menyebakan kita terlambat dari janji, lalu berdalil kalau sunnahnya safar itu pada hari kamis. Ini namanya bukan berdalil, tapi melakukan "kekerasan" terhadap dalil.

Wallahu a'lam.

__________

[1] Hadits riwayat Ibnu Sunni menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda : “Akan aman dari tenggelam bagi umatku bila mereka membaca doa ketika menggunakan kendaraan laut, ‘Bismillâhi majrêha wa mursâhâ, inna rabbî la ghafûrur rahîm, (Hud ayat 41).

[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (25/43)

[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (25/41) 

Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq

Info Setelahnya Info Sebelumnya