Hijrah Dari Musik?
Hijrah Dari Musik?
Saya memberi pujian kepada para artis yang telah hijrah dan semoga tetap istiqamah dalam menyebarkan kebaikan dan terus mempelajari ilmu dalam Islam.
Perdebatan tentang nyanyian yang meliputi banyak hal, mulai alat musiknya, suara, konten nyanyian, gerakan tubuh dan sebagainya, sebenarnya telah tuntas dikaji oleh para ulama kita sejak ratusan tahun silam, baik yang mengharamkan maupun yang membolehkan.
Kedatangan Salafi ke negara kita dengan membawa banyak isu, diantara merambat ke masalah musik ini, mulai mengusik lagi perdebatan itu. Andaikan mereka menyampaikan kedua pendapat ulama di atas tentu tidak akan menjadi polemik, namun sudah menjadi tabiat mereka setiap masalah yang mereka yakini adalah yang paling benar dan pendapat yang lain pasti salah. Disinilah tulisan saya berpihak. Yaitu menyeimbangkan antara yang mengharamkan dan yang membolehkan.
Pendapat Yang Mengharamkan Musik
Tidak dipungkiri memang ada ulama yang berpendapat mengharamkan musik, baik dari kalangan Shahabat, ulama Madzhab dan sebagainya. Diantara dalil ayat Qur'an adalah Surat Luqman ayat 6. Imam Ibnu Katsir banyak mengutip penafsiran Lahwa Al-Hadis sebagai nyanyian dan alat musik. Namun ternyata Ibnu Katsir juga menampilkan penafsiran dari beberapa ulama ahli tafsir lainnya
ï»ï»—ïºŽï» Ø§ï»Ÿï»€ïº¤ïºŽï»™ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: {ï»ï»£ï»¦ اﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﻳﺸﺘﺮﻱ ﻟﻬﻮ اﻟﺤﺪﻳﺚ} ﻳﻌﻨﻲ: اﻟﺸﺮﻙ.
Adl-Dhahhak ketika menafsirkan firman Allah: "... Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah... " (QS Luqman: 6). Ia berkata maksudnya adalah "Syirik".
ï»ïº‘ﻪ ï»—ïºŽï» ï»‹ïº’ïºª اﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ïºƒïº³ï» ï»¢Ø› ï»Ø§ïº§ïº˜ïºŽïº اﺑﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﺃﻧﻪ ﻛﻞ ﻛﻼﻡ ﻳﺼﺪ ﻋﻦ ïºï»³ïºŽïº• Ø§ï»Ÿï» ï»ª ï»Ø§ïº—ﺒﺎﻉ ïº³ïº’ï»´ï» ï»ª.
Demikian halnya yang dikatakan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Sementara Ibnu Jarir memilih pendapat bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah setiap perkataan yang menghalangi dari ayat-ayat Allah dan mengikuti jalan-Nya (Tafsir Ibni Katsir 6/331)
Dalil hadis yang digunakan untuk mengharamkan musik adalah hadis Bukhari yang menyebutkan kalimat Ma'azif. Langsung saja mereka memvonis keharaman musik. Padahal ulama memiliki banyak penafsiran tentang makna Ma'azif:
ï»ï»«ï»² ïºï»»ïº• اﻟﻤﻼﻫﻲ ï»ï»§ï»˜ï»ž اﻟﻘﺮﻃﺒﻲ ﻋﻦ Ø§ï»Ÿïº ï»®ï»«ïº®ï»± ﺃﻥ اﻟﻤﻌﺎﺯﻑ اﻟï»ï»¨ïºŽØ¡ ï»Ø§ï»Ÿïº¬ï»± ﻓﻲ ﺻﺤﺎﺣﻪ ﺃﻧﻬﺎ ïºï»»ïº• Ø§ï»Ÿï» ï»¬ï»® ï»ï»—ﻴﻞ ﺃﺻﻮاﺕ اﻟﻤﻼﻫﻲ ï»ï»“ﻲ ﺣﻮاﺷﻲ اﻟﺪﻣﻴﺎﻃﻲ اﻟﻤﻌﺎﺯﻑ اﻟﺪﻓﻮﻑ ï»ï»ï»´ïº®ï»«ïºŽ ﻣﻤﺎ ï»³ï»€ïº®ïº ïº‘ï»ª
Ma'azif adalah alat musik. Al-Qurthubi mengutip dari Al-Jauhari bahwa Ma'azif adalah nyanyian, sedangkan yang terdapat dalam kitab Shihahnya adalah alat musik. Ada yang mengatakan bahwa Ma'azif adalah suara nyanyian. Dalam Hasyiah Ad-Dimyati disebut bahwa Ma'azif adalah gendang dan alat musik yang ditabuh (Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath Al-Bari 10/55)
Jika dimaknai sebagai alat musik nyatanya di dalam hadis sahih lainnya Nabi membolehkan terbangan. Maka makna Ma'azif masih tetap dalam perdebatan.
Sekali lagi, keharaman musik dan nyanyian adalah bersifat ijtihad dari penafsiran ayat Qur'an dan hadis Nabi. Dan seperti biasa Salafi menggunakan satu penafsiran yang dianggap sebagai Tafsir tunggal yang paling benar. Padahal masih banyak ijtihad ulama lainnya yang membolehkan.
Pendapat Yang Mengatakan Boleh Dengan Syarat Tertentu
Pendapat yang mengharamkan musik sekali lagi bersumber dari ijtihad ulama, bukan langsung haram dari Al-Qur'an dan Hadis. Sebab andaikan kedua dalil tersebut yang memvonis haram maka sudah pasti tidak akan pernah ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Nyatanya masih ditemukan beberapa Sahabat dan ulama yang membolehkan. Imam Al-Ghazali berkata:
ï»ï»§ï»˜ï»ž ﺃﺑﻮ ï»ƒïºŽï»Ÿïº Ø§ï»Ÿï»¤ï»œï»² ﺇﺑﺎﺣﺔ اﻟﺴﻤﺎﻉ ﻣﻦ ﺟﻤﺎﻋﺔ ï»“ï»˜ïºŽï» ïº³ï»¤ï»Š ﻣﻦ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻋﺒﺪ Ø§ï»Ÿï» ï»ª ﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ ï»ï»‹ïº’ﺪ Ø§ï»Ÿï» ï»ª ﺑﻦ اﻟﺰﺑﻴﺮ ï»Ø§ï»Ÿï»¤ï»ï»´ïº®ïº“ ﺑﻦ ﺷﻌﺒﺔ ï»ï»£ï»ŒïºŽï»ï»³ïº” ï»ï»ï»´ïº®ï»«ï»¢ ï»ï»—ïºŽï» ï»—ïºª ﻓﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ Ø§ï»Ÿïº´ï» ï»’ اﻟﺼﺎﻟﺢ ﺻﺤﺎﺑﻲ ï»ïº—ﺎﺑﻌﻲ ﺑﺈﺣﺴﺎﻥ
Abu Thalib Al-Makki mengutip tentang kebolehan mendengar (syair, nyanyian) dari sekelompok ulama. Ada diantara Sahabat adalah Abdullah bin Ja'far, Abdullah bin Zubair, Mughirah, Muawiyah dan lainnya. Abu Thalib Al-Makki mengatakan bahwa banyak ulama Salafus Shaleh yang melakukan, Sahabat atau Tabiin
ï»ï»—ïºŽï» ï»Ÿï»¢ ï»³ïº°ï» Ø§ï»Ÿïº¤ïº ïºŽïº¯ï»³ï»®ï»¥ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﺑﻤﻜﺔ ﻳﺴﻤﻌﻮﻥ اﻟﺴﻤﺎﻉ ﻓﻲ ﺃﻓﻀﻞ ﺃﻳﺎﻡ اﻟﺴﻨﺔ ï»ï»«ï»° اﻻﻳﺎﻡ اﻟﻤﻌﺪï»ïº©Ø§ïº• اﻟﺘﻲ ﺃﻣﺮ Ø§ï»Ÿï» ï»ª ﻋﺒﺎﺩﻩ ﻓﻴﻬﺎ ﺑﺬﻛﺮﻩ ﻛﺄﻳﺎﻡ اﻟﺘﺸﺮﻳﻖ ï»ï»Ÿï»¢ ï»³ïº°ï» ïºƒï»«ï»ž اﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻣﻮاﻇﺒﻴﻦ ﻛﺄﻫﻞ ﻣﻜﺔ ï»‹ï» ï»° اﻟﺴﻤﺎﻉ ﺇﻟﻰ ﺯﻣﺎﻧﻨﺎ ﻫﺬا ﻓﺄﺩïºï»›ï»¨ïºŽ ﺃﺑﺎ ï»£ïº®ï»Ø§ï»¥ اﻟﻘﺎﺿﻲ ï»ï»Ÿï»ª ïºŸï»®Ø§ïº ï»³ïº´ï»¤ï»Œï»¦ اﻟﻨﺎﺱ Ø§ï»Ÿïº˜ï» ïº¤ï»´ï»¦ ﻗﺪ ﺃﻋﺪﻫﻦ ï»Ÿï» ïº¼ï»®ï»“ï»´ïº” ï»—ïºŽï» ï»ï»›ïºŽï»¥ ﻟﻌﻄﺎء ﺟﺎïºï»³ïº˜ïºŽï»¥ ï»³ï» ïº¤ï»¨ïºŽï»¥ ﻓﻜﺎﻥ ﺇﺧﻮاﻧﻪ ﻳﺴﺘﻤﻌﻮﻥ ﺇﻟﻴﻬﻤﺎ
Abu Thalib Al-Makki mengatakan bahwa ulama Hijaz (Makkah dan Madinah, dahulu) selalu mendengarkan nyanyian pada hari utama dalam setahun, yaitu hari yang diperintahkan oleh Allah untuk menyebut nama-Nya seperti hari Tasyriq. Demikian pula dengan penduduk Madinah sampai zaman kami saat ini.
Hingga kami menemukan Qadli Marwan, ia memiliki beberapa budak wanita yang bernyanyi untuk manusia dan ia siapkan untuk para Sufi. Atha' juga memiliki 2 budak wanita yang bernyanyi, maka saudara-saudaranya mendengarkan keduanya
Abu Thalib Al-Makki mengatakan bahwa ada yang bertanya kepada Abu Hasan bin Salim: "Bagaimana engkau ingkar (melarang) mendengarkan nyanyi, padahal Al-Junaid, Sari Saqathi, Dzun Nun membolehkan?" Ia menjawab: "Bagaimana aku melarang mendengarkan nyanyian pada ada orang yang lebih baik dari ku yang membolehkan dan mendengarkan? Sungguh Abdullah bin Ja'far Ath-Thayyar mendengarkan nyanyian. Yang aku ingkari adalah permainan yang ada dalam nyanyian" (Ihya' Ulumuddin 2/269)
Faktor Keharaman
Pertama, seperti yang disampaikan di atas yaitu faktor eksternal, permainan yang menyertai nyanyian. Artinya jika nyanyian hanya sekedar nyanyian saja dan tidak ada permainan berupa kemungkaran seperti mabuk, maka tidak apa-apa.
Kedua, tidak ada instrumen alat musik yang dilarang. Imam Al-Ghazali berkata:
ï»ï»›ï»ž ﺫﻟﻚ ﺟﺎﺋﺰ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻴﻪ اﻟﻤﺰاﻣﻴﺮ ï»Ø§ï»·ï»ïº—ïºŽïº Ø§ï»Ÿïº˜ï»² ﻫﻲ ﻣﻦ ïº·ï»ŒïºŽïº Ø§ï»·ïº·ïº®Ø§ïº
Semua alat musik itu boleh kecuali seruling dan gitar, karena bagian dari syiar orang-orang yang buruk (Ihya' Ulumuddin, 2/276)
ï»ïº‘ﻬﺬﻩ Ø§ï»Ÿï»Œï» ïº” ﻳﺤﺮﻡ ïº¿ïº®ïº Ø§ï»Ÿï»œï»®ïº‘ïº” ï»ï»«ï»® ﻃﺒﻞ ﻣﺴﺘﻄﻴﻞ ﺩﻗﻴﻖ اﻟﻮﺳﻂ ï»Ø§ïº³ï»Š اﻟﻄﺮﻓﻴﻦ ï»ïº¿ïº®ïº‘ﻬﺎ ﻋﺎﺩﺓ اﻟﻤﺨﻨﺜﻴﻦ ï»ï»Ÿï»®ï»» ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ اﻟﺘﺸﺒﻪ ﻟﻜﺎﻥ ﻣﺜﻞ ﻃﺒﻞ Ø§ï»Ÿïº¤ïº ï»´ïºž ï»Ø§ï»Ÿï»ïº°ï»
Dengan alasan ini pula haram menabuh gendang atau drum, yaitu sejenis alat musik tabuh panjang yang memiliki lobang di tengah dan lebar kedua sisinya. Menabuh gendang ini adalah kebiasaan waria. Andaikan tidak ada kesamaan dengan kebiasaan waria maka boleh seperti gendang haji dan perang (Ihya' Ulumuddin 2/272)
Secara khusus berkenaan dengan alat musik ini ada yang melarang berdasar teks hadis dan ada yang melihat faktor alasannya, yaitu karena alat musik tiup (seruling) dan alat musik petik (gitar), dahulu, sangat identik dengan musik-musik para pemabuk, pezina dan sebagainya. Sudah dimaklumi dalam hukum fikih jika faktor alasannya hilang maka hukumnya juga berubah. Hari ini gitar dan seruling bukan hal identik dengan musik-musik orang yang buruk, mereka hari ini memakai musik-musik disco, koplo, dangdut yang disertai goyang erotis dan sebagainya.
Kesimpulan:
Imam Al-Ghazali berkata:
ﻓﻬﺬﻩ اﻟﻤﻘﺎﻳﻴﺲ ï»Ø§ï»Ÿï»¨ïº¼ï»®ïº¹ ïº—ïºªï» ï»‹ï» ï»° ﺇﺑﺎﺣﺔ اﻟï»ï»¨ïºŽØ¡ ï»Ø§ï»Ÿïº®ï»—ﺺ ï»Ø§ï»Ÿï»€ïº®ïº ﺑﺎﻟﺪﻑ ï»Ø§ï»Ÿï» ï»Œïº ïº‘ïºŽï»Ÿïºªïºï»• ï»Ø§ï»Ÿïº¤ïº®Ø§ïº ï»Ø§ï»Ÿï»¨ï»ˆïº® ﺇﻟﻰ ïºï»—ﺺ اﻟﺤﺒﺸﺔ ï»Ø§ï»Ÿïº°ï»§ï»®ïº ﻓﻲ ﺃï»ï»—ﺎﺕ اﻟﺴﺮï»ïº ï»›ï» ï»¬ïºŽ ﻗﻴﺎﺳﺎ ï»‹ï» ï»° ﻳﻮﻡ اﻟﻌﻴﺪ ﻓﺈﻧﻪ ï»ï»—ﺖ ﺳﺮï»ïº ï»ï»“ﻲ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﻳﻮﻡ اﻟﻌﺮﺱ ï»Ø§ï»Ÿï»®ï»Ÿï»´ï»¤ïº” ï»Ø§ï»Ÿï»Œï»˜ï»´ï»˜ïº” ï»Ø§ï»Ÿïº¨ïº˜ïºŽï»¥ ï»ï»³ï»®ï»¡ اﻟﻘﺪï»ï»¡ ﻣﻦ اﻟﺴﻔﺮ ï»ïº³ïºŽïº‹ïº® ïºƒïº³ïº’ïºŽïº Ø§ï»Ÿï»”ïº®ïº¡ ï»ï»«ï»® ﻛﻞ ﻣﺎ ï»³ïº ï»®ïº¯ ﺑﻪ اﻟﻔﺮﺡ ﺷﺮﻋﺎ ï»ï»³ïº ﻮﺯ اﻟﻔﺮﺡ ﺑﺰﻳﺎïºïº“ اﻹﺧﻮاﻥ ï»ï»Ÿï»˜ïºŽïº‹ï»¬ï»¢ ï»Ø§ïºŸïº˜ï»¤ïºŽï»‹ï»¬ï»¢ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ï»Ø§ïº£ïºª ï»‹ï» ï»° ﻃﻌﺎﻡ ïºƒï» ï»›ï»¼ï»¡
Berdasarkan dalil qiyas dan dalil Nash menunjukkan diperbolehkan nyanyian, menggerakkan tubuh (asalkan tidak menimbulkan syahwat), menabuh terbang, mainan perang-perangan, melihat gerakan tubuh orang habasyah (kulit hitam), di waktu bahagia yaitu hari raya, pernikahan, walimah, aqiqah, khitan, kedatangan tamu dan bentuk kebahagiaan yang lain. Yaitu hal yang diperbolehkan dalam syariat maka boleh untuk bersenang-senang, mengunjungi saudara, bertemu dengan kawan, berkumpul dalam satu tempat untuk makan-makan atau berdiskusi (Ihya' Ulumuddin 2/279)
Sumber FB Ustadz : Ma'ruf Khozin
Kajian· 31 Juli 2021 pada 12.38 ·