Penyebutan Almarhum Tidak Boleh?
ð—£ð—˜ð—¡ð—¬ð—˜ð—•ð—¨ð—§ð—â€Ã°Â—¡ ð—â€Ã°Â—Ÿð— ð—â€Ã°Â—¥ð—›ð—¨ð— ð—§ð—œð——ð—â€Ã°Â—ž ð—•ð—¢ð—Ÿð—˜ð—› ?
Afwan kyai, ana membaca di sebuah artikel bahwa menyebut orang yang sudah meninggal dunia dengan sebutan ‘almarhum’ itu tidak dibolehkan.
Alasannya karena penyebutan itu memastikan orang yang mati tersebut telah mendapat rahmat kasih sayang Allah, padahal bisa saja dia pelaku maksiat dan fajir semasa hidupnya.
Kepastian ampunan atau rahmat Allah kepada seseorang yang meninggal dunia itu merupakan perkara ghaib. Di mana yang tahu hanyalah Allah dan makhluq yang di beritahu oleh Allah, seperti Malaikat dan para Nabi-Nya.
Mohon penjelasan dari kyai.
ð—Âð—®ð˜„ð—®ð—¯ð—®ð—»
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Kata almarhum (المرØÂوم) adalah bentuk objek (maf’ul) dari kata kerja rahima-yarhamu (رØÂÙ… – يرØÂÙ…) yang artinya merahmati atau memberikan rahmat. Jadi almarhum (المرØÂوم) secara bahasa maknanya adalah orang yang dirahmati, yakni dirahmati atau disayangi oleh Allah ta’ala.
ð—£ð—²ð—»ð—´ð—´ð˜‚ð—»ð—®ð—®ð—» ð—±ð—®ð—¹ð—®ð—º ð—¯ð—®ð—µð—®ð˜€ð—® ð—œð—»ð—±ð—¼ð—»ð—²ð˜€ð—¶ð—®
Di Indonesia atau masyarakat rumpun melayu pada umumnya kata almarhum itu sudah menjadi semacam ‘gelar khusus’ bagi orang yang sudah meninggal dunia. Jadi kata almarhum atau almarhumah yang mengiringi sebuah nama, bisa dipastikan bahwa itu adalah orang yang sudah meninggal dunia.
Nah, karena kata ini begitu akrab dengan bau-bau kematian, orang Indonesia yang masih hidup tidak akan mau disebut almarhum.
ð—£ð—²ð—»ð—´ð—´ð˜‚ð—»ð—®ð—®ð—» ð˜†ð—®ð—»ð—´ ð—¸ð˜‚ð—¿ð—®ð—»ð—´ ðÂËœÂð—²ð—½ð—®ðÂËœÂ
Penggunaan kata almarhum sebagai kata pengganti orang yang telah mati tentu saja tidak tepat. Karena esensi kata almarhum itu sendiri bukanlah gelar, melainkan sebagai doa dari yang hidup kepada yang meninggal dunia. Sebagaimana kata almarhum itu sendiri artinya orang yang dirahmati. Jadi penyebutan almarhum bermakna : Semoga Allah merahmatinya.
Seperti kalau ada mubaligh yang ceramah kemudian mengatakan : "Para Jama'ah rahimakumullah." Nah itu kan ditujukan kepada hadirin yang masih hidup, bukan kepada yang telah meninggal dunia.
Demikianlah yang lazim ada dalam kitab-kitab para ulama kita temui. Biasanya bila disebutkan nama mereka, diberikan embel-embel gelar. Allahu yarham, al Marhum, atau rahimahullah.
Yang terakhir ini lebih lazim dan popular : rahimahullah. Misalnya kita dapati dalam kitab-kitab kata : al Imam al Ghazali rahimahullah, al Imam Nawawi rahimahullah artinya : al Imam al Ghazali yang semoga Allah merahmatinya, al Imam Nawawi yang semoga Allah merahmatinya.
Tapi almarhum juga digunakan, hanya biasanya ini diperuntukkan untuk ulama-ulama kontemporer Semisal yang kita temui dalam al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (1/38) dan kitab al Fiqh al Islami waadillatuhu ( 1/37) ketika menyebut almarhum Fadhilatussyaikh Muhammad Abu Zuhrah.
ð—›ð˜‚ð—¸ð˜‚ð—º ð—½ð—²ð—»ð—´ð˜‚ð—»ð—®ð—®ð—»ð—»ð˜†ð—®
Kata almarhum jika diniatkan sebagai bentuk doa kepada orang yang meninggal doa maka hukumnya boleh. Asalkan yang disebut itu adalah orang islam, terlebih bila semasa hidupnya dia dikenal sebagai orang yang shalih apalagi ulama.[1]
Adapun bila kata almarhum itu digunakan kepada orang kafir maka hukumnya haram, sebagaimana hukum haramnya mendoakan orang kafir yang telah meninggal dunia.
مَا كَانَ Ù„ÙÂلنَّبÙÂيّ٠وَالَّذÙÂينَ آمَنÙÂوا أَنْ يَسْتَغْÙÂÙÂرÙÂوا Ù„ÙÂلْمÙÂشْرÙÂÙƒÙÂينَ وَلَوْ كَانÙÂوا Ø£ÙÂولÙÂيقÙÂرْبَى Ù…ÙÂنْ بَعْد٠مَا تَبَيَّنَ Ù„ÙŽÙ‡ÙÂمْ أَنَّهÙÂمْ أَصْØÂَاب٠الْجَØÂÙÂيمÙÂ
"Dan tidaklah layak bagi Nabi dan dan orang-orang beriman memohon ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun mereka itu orang-orang itu kerabatnya, setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahanam" (Qs. At-Taubah 113)
Mungkin cukup bagi nonmuslim untuk disebut dengan istilah mendiang atau sebutan yang semisal.
Wallahu a’lam.
__________
[1] Demikian sebenarnya juga fatwa dari ulama-ulama yang dinukil oleh kalangan yang mengharamkan penggunaan kata almarhum, lihat Kutub wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin 82/15-16, Liqa’ Al Bab Al Maftuh 11/28, Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 3/85).
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq