Keliru Dalam Redaksi Doa

Keliru Dalam Redaksi Doa
(Oleh : Yendri Junaidi)
Dalam sebuah ceramah, seorang ustadz bercerita bahwa ia pernah diminta untuk memimpin doa bersama di sebuah acara. Ia enggan mengabulkan permintaan itu, karena menurutnya Nabi tidak pernah mencontohkan hal tersebut. Akhirnya doa dipimpin oleh salah seorang yang hadir. Tapi menurut ustadz tadi, doa orang ini salah. Doa yang seharusnya dibacanya adalah seperti ini :
اللهم اقْسÙÂمْنÙÂيمÙÂنْ خَشْيَتÙÂÙƒÙŽ مَا تَØÂÙÂوْل٠بÙÂه٠بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصÙÂيَتÙÂÙƒÙŽ ÙˆÙŽÙ…ÙÂنْ طَاعَتÙÂÙƒÙŽ مَا تÙÂبَلّÙÂغÙÂنَا بÙÂه٠جَنَّتَكَ
Tapi yang ia baca malah seperti ini :
اللهم اقْسÙÂمْنَا Ù…ÙÂنْ خَشْيَتÙÂÙƒÙŽ مَا تÙÂØÂَوّÙÂÙ„ÙÂنَا بÙÂه٠جَنَّتَكَ ...
Menurut ustadz tadi, doa yang dibaca orang tersebut artinya menjadi seperti ini : “Ya Allah, berikan kami rasa takut pada-Mu yang memindahkan kami dari surga-Mu…â€Â
Kemudian ia menimpali, “Pindah dari surga mau kemana? Tentu ke neraka! Tapi para jamaah yang tidak mengerti bahasa Arab itu hanya berkata, “Amiin…â€Â.
Lalu sang ustadz pun berpesan, “Makanya jangan mau doa-doa kita dipimpin…â€Â.
☆☆â˜â€
Sebenarnya kalau pesan yang ingin disampaikan sang ustadz adalah agar lebih berhati-hati dalam berdoa; atau sebaiknya kita memahami lafaz doa yang kita ucapkan; atau ini sebagai motivasi untuk belajar bahasa Arab; tentu ini sesuatu yang baik.
Tapi dari konteks pembicaraannya, ia ingin menegaskan bahwa kesalahan dalam redaksi doa sangat fatal akibatnya. Untuk itu ia berpesan, “Jangan mau doa kita dipimpin.â€Â
☆☆â˜â€
Poin pertama yang perlu kita koreksi adalah kalau betul-betul mengikuti sunnah seperti yang sering digembar-gemborkan oleh sang ustadz dan orang-orang yang semanhaj dengannya, maka redaksi doa tersebut bukan seperti yang ia katakan di awal (yang menurutnya mesti dibaca oleh orang yang didaulat untuk memimpin doa tersebut).
Redaksi doa ini terdapat di dalam Sunan Tirmidzi, dan tidak menggunakan kalimat :
اللهم اقْسÙÂمْنÙÂيمÙÂنْ خَشْيَتÙÂÙƒÙŽ مَا تَØÂÙÂوْل٠بÙÂه٠بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصÙÂيَتÙÂÙƒÙŽ
Sebagaimana yang disampaikan sang ustadz. Melainkan dengan redaksi :
اللَّهÙÂمَّ اقْسÙÂمْ لَنَا Ù…ÙÂنْ خَشْيَتÙÂÙƒÙŽ مَا ÙŠÙŽØÂÙÂول٠بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصÙÂيكَ
“Ya Allah, berikan kami rasa takut pada-Mu yang dapat menghalangi kami dari bermaksiat kepada-Mu.â€Â
Perbedaannya tidak hanya terletak pada penggunaan objek (maf’ul) dari kata اقْسÙÂمْ yang menurut sang ustadz adalah ya mutakallim yang dibantu oleh nun wiqayah sehingga menjadi اقْسÙÂمْنÙÂÙŠsementara di dalam hadits menggunakan huruf jar lam sehingga menjadi اقْسÙÂمْ لَنَا , tapi juga terletak pada dhamir yang digunakan.
Sang ustadz menggunakan ya mutakallim yang berarti ‘saya’. Artinya doa ini untuk diri sendiri. Sementara hadits menggunakan nun jamak yang berarti ‘kita’. Artinya doa ini untuk bersama, bukan untuk sendiri.
Ditambah lagi, kalau sang ustadz lebih teliti, di awal hadits disebutkan bahwa doa ini Nabi ucapkan untuk para sahabat. Artinya doa ini memang untuk bersama. Perhatikan redaksi hadits berikut :
عَنْ خَالÙÂد٠بْن٠أَبÙÂيعÙÂمْرَانَ، أَنَّ ابْنَ عÙÂمَرَ، قَالَ: قَلَّمَا كَانَ رَسÙÂول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙŠÙŽÙ‚ÙÂوم٠مÙÂنْ مَجْلÙÂس٠ØÂَتَّى يَدْعÙÂÙˆÙŽ بÙÂهَؤÙÂلَاء٠الدَّعَوَات٠لÙÂأَصْØÂَابÙÂÙ‡ÙÂ: «اللَّهÙÂمَّ اقْسÙÂمْ لَنَا Ù…ÙÂنْ خَشْيَتÙÂÙƒÙŽ مَا ÙŠÙŽØÂÙÂول٠بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصÙÂيكَ، ÙˆÙŽÙ…ÙÂنْ طَاعَتÙÂÙƒÙŽ مَا تÙÂبَلّÙÂغÙÂنَا بÙÂه٠جَنَّتَكَ، ÙˆÙŽÙ…ÙÂÙ†ÙŽ اليَقÙÂين٠مَا تÙÂهَوّÙÂن٠بÙÂه٠عَلَيْنَا Ù…ÙÂصÙÂيبَات٠الدّÙÂنْيَا ... (رواه الترمذي)
Dari Khalid bin Abi Imran, Ibnu Umar berkata, “Jarang sekali Rasulullah Saw bangkit dari sebuah majlis melainkan beliau berdoa dengan doa berikut untuk para sahabatnya: “Ya Allah, karuniakanlah pada kami rasa takut pada-Mu yang bisa menghalangi kami dari maksiat pada-Mu, dan (karuniakan pada kami) rasa takut pada-Mu yang dapat menyampaikan kami pada surga-Mu, dan rasa yakin yang dapat meringankan kami menerima berbagai musibah di dunia ini…â€Â
☆☆â˜â€
Poin berikutnya adalah mengenai ‘kesalahan fatal’ dalam redaksi doa yang digunakan orang tersebut menurut sang ustadz. Redaksi yang ia baca adalah :
اللهم اقْسÙÂمْنَا Ù…ÙÂنْ خَشْيَتÙÂÙƒÙŽ مَا تÙÂØÂَوّÙÂÙ„ÙÂنَا بÙÂه٠جَنَّتَكَ
Redaksi ini oleh sang ustadz diterjemahkan seperti ini: “Ya Allah, berikanlah kami rasa takut pada-Mu yang memindahkan kami dari surga-Mu.â€Â
Sebenarnya, terjemahan ini baru pas kalau orang tersebut menambahkan kata Ù…ÙÂنْ ‘dari’ sebelum kata جَنَّتَكَ ‘surga-Mu’. Tanpa kata Ù…ÙÂنْ ‘dari’ maka artinya tidak mutlak seperti yang diklaim sang ustadz, karena kata جَنَّتَكَ ‘surga-Mu’ dalam hal ini menjadi objek kedua (maf’ul bih tsani) dari kata تÙÂØÂَوّÙÂÙ„ÙÂنَا “memindahkan kami’, sehingga artinya bisa saja menjadi: “Ya Allah, karuniakan kami rasa takut pada-Mu, yang dengan rasa takut itu bisa memindahkan kami akan (kepada) surga-Muâ€Â. Jadi ‘surga-Mu’ dalam hal ini bisa dipahami sebagai tujuan dipindahkan.
Tapi anggaplah terjemahan yang disampaikan sang ustadz terhadap redaksi orang tersebut benar. Lalu apakah ini berarti si pendoa benar-benar meminta kepada Allah untuk dipindahkan dari surga? Dan apakah orang-orang yang mengaminkannya juga berkeinginan seperti itu? Serta yang paling penting, apakah Allah SWT akan mengabulkan sebuah doa sesuai dengan redaksi yang terucap dari mulut atau melihat kepada apa yang ada di dalam hati?
Mari perhatikan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:
لَلَّه٠أَشَدّ٠ÙÂَرَØÂًا بÙÂتَوْبَة٠عَبْدÙÂه٠ØÂÙÂينَ يَتÙÂوب٠إÙÂلَيْهÙÂØŒ Ù…ÙÂنْ Ø£ÙŽØÂَدÙÂÙƒÙÂمْ كَانَ عَلَى رَاØÂÙÂلَتÙÂه٠بÙÂأَرْض٠ÙÂَلَاةÙÂØŒ ÙÂَانْÙÂَلَتَتْ Ù…ÙÂنْه٠وَعَلَيْهَا طَعَامÙÂه٠وَشَرَابÙÂÙ‡ÙÂØŒ ÙÂÙŽØ£ÙŽÙŠÙÂسَ Ù…ÙÂنْهَا، ÙÂَأَتَى شَجَرَةً، ÙÂَاضْطَجَعَ ÙÂÙÂيظÙÂلّÙÂهَا، قَدْ Ø£ÙŽÙŠÙÂسَ Ù…ÙÂنْ رَاØÂÙÂلَتÙÂÙ‡ÙÂØŒ ÙÂَبَيْنَا Ù‡ÙÂÙˆÙŽ كَذَلÙÂÙƒÙŽ Ø¥ÙÂذَا Ù‡ÙÂÙˆÙŽ بÙÂهَا، قَائÙÂمَةً عÙÂنْدَهÙÂØŒ ÙÂَأَخَذَ بÙÂØ®ÙÂطَامÙÂهَا، Ø«ÙÂمَّ قَالَ Ù…ÙÂنْ Ø´ÙÂدَّة٠الْÙÂَرَØÂÙÂ: اللهÙÂمَّ أَنْتَ عَبْدÙÂيوَأَنَا رَبّÙÂÙƒÙŽØŒ أَخْطَأَ Ù…ÙÂنْ Ø´ÙÂدَّة٠الْÙÂَرَØÂÙÂ
“Sungguh Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya ketika ia bertaubat, daripada seseorang yang berada di atas hewan tunggangannya di sebuah padang lepas, lalu hewan itu lepas darinya, sementara di atasnya ada makanan dan minumannya. Ia pun merasa putus asa (hewan tunggangannya itu kembali lagi). Akhirnya ia berteduh di sebuah pohon dalam keadaan pasrah. Tiba-tiba hewan tunggagannya sudah berada di depannya. Ia segera meraih tali kekangnya. Saking gembiranya ia berkata, “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku tuhan-Mu.†Ia keliru karena sangat bergembira.â€Â
Kesalahan orang ini tidak hanya dari segi qawa’id atau kaidah bahasa seperti yang terjadi pada orang yang diceritakan sang ustadz di atas. Kesalahannya tidak hanya pada masalah redaksi, melainkan pada makna dan substansi. Ia sampai mengatakan, “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku tuhan-Mu…â€Â. Bukankah ini adalah kalimat kafir?
Tapi apakah memang itu yang ia maksudkan? Tentu tidak. Ungkapan itu muncul karena ia berada dalam kondisi yang sangat bahagia sehingga kalimat yang keluar dari mulutnya tidak terkontrol lagi. Berarti bukan sebuah kesengajaan.
Terkadang kita perlu mengingat kembali pelajaran-pelajaran dasar yang mungkin telah kita lupakan. Bukankah diantara hadits pokok yang hampir setiap muslim mengetahuinya adalah:
Ø¥ÙÂنَّمَا الْأَعْمَال٠بÙÂالنّÙÂيَّاتÙÂ
“Sesungguhnya setiap amal tergantung kepada niatnya.â€Â
Maka, saya sangat respek membaca respon banyak orang terhadap video ceramah sang ustadz, “Yang penting kan niatnya, Ustadz…â€Â.
Ya, adakalanya seorang ustadz yang kajiannya sudah kesana-kemari perlu diingatkan oleh jamaahnya yang ilmunya mungkin sangat terbatas tapi memiliki fitrah yang bersih dan rasa kemanusiaan yang tinggi.
☆☆â˜â€
Kita tidak boleh meremehkan kesalahan redaksi dalam bacaan doa. Tapi kita juga tidak boleh menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat fatal, apalagi kalau berangkat dari ketidaktahuan, bukan kesengajaan.
Hal lain yang perlu diingatkan kepada masyarakat tentang doa adalah konteks sebuah doa. Syekh Mustafa al-Buhyawi menceritakan, suatu ketika beliau sedang thawaf. Tiba-tiba ada serombongan jamaah haji yang dari pakaiannya terlihat berasal dari Asia. Mereka berdoa bersama secara serentak dengan suara yang keras dan dipimpin oleh seseorang yang sepertinya menjadi ketua rombongan. Diantara doa yang mereka ucapkan adalah:
اللهم كَمَا اسْتَجَبْتَ Ù„ÙÂØ¥ÙÂبْلÙÂيْسَ ÙÂَاسْتَجÙÂبْ لَنَا
“Ya Allah, sebagaimana Engkau telah mengabulkan doa Iblis maka kabulkanlah doa kami.â€Â
Yang mereka maksudkan adalah Allah mengabulkan doa Iblis yang minta diberikan tenggat waktu sampai hari kiamat untuk bisa menyesatkan anak cucu Adam, dan Allah mengabulkan permintaan itu. Tapi pengabulan doa disini adalah dalam konteks kemurkaan bukan keridhaan. Sementara yang kita mohon kepada Allah adalah pengabulan doa dalam keridhaan. Ini jelas dua hal yang sangat berbeda.
اللهم ÙÂقهنا ÙÂÙ‰ الدينواجعلنا دعاة لا قضاة
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi
31 Maret 2021·