Shalat Agar Mudah Hafal Quran
Shalat Agar Mudah Hafal Quran
Dalam kitabnya Nazharat fil Quran, Syekh Muhammad al-Ghazali bercerita pengalamannya menghafal al-Quran. Ia sudah hafal Quran sejak usia 10 tahun. Tentu saja sekedar hafal. Belum paham maknanya. Seorang anak mudah merekam sesuatu, membayangkan posisi surat dan ayat yang ada dalam al-Quran.
Tapi beberapa tahun setelah itu ia lupa semua yang dihafalnya. Seolah-olah usaha ayahnya untuk memasukkannya ke kuttab sia-sia belaka. Ini bukan hanya karena kelalaiannya saja tapi juga beban dan materi pelajaran di Ma’had tempat ia belajar yang membuatnya tidak bisa mempertahankan hafalannya.
Namun ia tak menyerah begitu saja. Ia berjuang keras untuk kembali mengulang apa yang sudah ia hafal sebelumnya. Lebih dari lima tahun ia berusaha tanpa kenal lelah. Untuk satu rubu’ saja ia mesti ulang sepuluh kali. Namun, tetap saja tidak mudah mengembalikan lagi hafalan yang sudah hilang itu.
Sampai akhirnya ia mendapatkan resep mujarrab tentang bagaimana agar hafalannya kuat. Resep itu ia dapatkan saat membaca kitab-kitab hadits. Resep itu terdapat dalam hadits riwayat Tirmidzi, al-Hakim, dan ad-Daruquthni. Hadits itu menjelaskan apa yang disebut dengan shalat untuk menghafal Quran.
Setelah mengamalkan isi hadits itu, Syekh Muhammad Ghazali sangat merasakan manfaatnya. Ia juga berharap banyak orang yang mendapatkan manfaat dari mengamalkan hadits tersebut.
***
Shalat untuk menghafal Quran sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi itu merupakan ajaran Nabi Saw kepada Imam Ali ra saat ia mengeluhkan kelemahan hafalannya. Nabi Saw menganjurkan Imam Ali untuk bangun di sepertiga malam terakhir di malam Jumat karena itu merupakan waktu yang sangat mustajab untuk berdoa. Kalau tidak bisa di sepertiga terakhir maka di pertengahannya. Kalau tidak bisa juga maka di awalnya.
Shalatnya empat rakaat. Di rakaat pertama dibaca al-Fatihah dan Surat Yasin. Di rakaat kedua dibaca al-Fatihah dan Hamim ad-Dukhan. Di rakaat ketiga dibaca al-Fatihah dan as-Sajdah. Di rakaat keempat dibaca al-Fatihah dan Tabaraka (al-Mulk).
Setelah salam perbanyak puji-pujian kepada Allah Swt dan shalawat kepada Nabi Saw serta memintakan ampunan untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat. Setelah itu baca doa berikut:
اللَّهÙÂمَّ ارْØÂَمْنÙÂيبÙÂتَرْك٠المَعَاصÙÂيأَبَدًا مَا أَبْقَيْتَنÙÂÙŠØŒ وَارْØÂَمْنÙÂيأَنْ أَتَكَلَّÙÂÙŽ مَا لَا يَعْنÙÂينÙÂÙŠØŒ وَارْزÙÂقْنÙÂÙŠØÂÙÂسْنَ النَّظَر٠ÙÂÙÂيمَا ÙŠÙÂرْضÙÂيكَ عَنّÙÂÙŠØŒ اللَّهÙÂمَّ بَدÙÂيعَ السَّمَوَات٠وَالأَرْض٠ذَا الجَلَال٠وَالإÙÂكْرَام٠وَالعÙÂزَّة٠الَّتÙÂيلَا تÙÂرَامÙÂØŒ أَسْأَلÙÂÙƒÙŽ يَا أَللَّه٠يَا رَØÂْمَن٠بÙÂجَلَالÙÂÙƒÙŽ ÙˆÙŽÙ†ÙÂور٠وَجْهÙÂÙƒÙŽ أَنْ تÙÂلْزÙÂÙ…ÙŽ قَلْبÙÂÙŠØÂÙÂÙÂْظَ ÙƒÙÂتَابÙÂÙƒÙŽ كَمَا عَلَّمْتَنÙÂÙŠØŒ وَارْزÙÂقْنÙÂيأَنْ أَتْلÙÂوَه٠عَلَى النَّØÂْو٠الَّذÙÂييÙÂرْضÙÂيكَ عَنّÙÂÙŠÙŽØŒ اللَّهÙÂمَّ بَدÙÂيعَ السَّمَوَات٠وَالأَرْض٠ذَا الجَلَال٠وَالإÙÂكْرَام٠وَالعÙÂزَّة٠الَّتÙÂيلَا تÙÂرَامÙÂØŒ أَسْأَلÙÂÙƒÙŽ يَا أَللَّه٠يَا رَØÂْمَن٠بÙÂجَلَالÙÂÙƒÙŽ ÙˆÙŽÙ†ÙÂور٠وَجْهÙÂÙƒÙŽ أَنْ تÙÂنَوّÙÂرَ بÙÂÙƒÙÂتَابÙÂÙƒÙŽ بَصَرÙÂÙŠØŒ وَأَنْ تÙÂطْلÙÂÙ‚ÙŽ بÙÂه٠لÙÂسَانÙÂÙŠØŒ وَأَنْ تÙÂÙÂَرّÙÂجَ بÙÂه٠عَنْ قَلْبÙÂÙŠØŒ وَأَنْ تَشْرَØÂÙŽ بÙÂه٠صَدْرÙÂÙŠØŒ وَأَنْ تÙÂعْمÙÂÙ„ÙŽ بÙÂه٠بَدَنÙÂÙŠØŒ ÙÂÙŽØ¥ÙÂنَّه٠لَا ÙŠÙÂعÙÂينÙÂÙ†ÙÂيعَلَى الØÂَقّ٠غَيْرÙÂÙƒÙŽ وَلَا ÙŠÙÂؤْتÙÂيه٠إÙÂلَّا أَنْتَ، وَلَا ØÂَوْلَ وَلَا Ù‚ÙÂوَّةَ Ø¥ÙÂلَّا بÙÂاللَّه٠العَلÙÂيّ٠العَظÙÂيمÙÂ
Lakukan hal itu selama tiga, lima atau tujuh kali Jumat. Insya Allah doa akan terkabul. Bahkan di akhir hadits Nabi Saw menegaskan:
وَالَّذÙÂيبَعَثَنÙÂيبÙÂالØÂَقّ٠مَا أَخْطَأَ Ù…ÙÂؤْمÙÂنًا قَطّÙÂ
“Demi Zat yang mengutusku dengan sebenarnya, ini tak pernah meleset dari seorang mukmin pun.â€Â
Dan memang, lima atau tujuh hari setelah itu, Ali kembali datang kepada Nabi Saw dan berkata:
يَا رَسÙÂولَ اللَّهÙÂØŒ Ø¥ÙÂنّÙÂيكÙÂنْت٠ÙÂÙÂيمَا خَلَا لَا آخÙÂذ٠إÙÂلَّا أَرْبَعَ آيَات٠أَوْ Ù†ÙŽØÂْوَهÙÂنَّ، ÙˆÙŽØ¥ÙÂذَا قَرَأْتÙÂÙ‡ÙÂنَّ عَلَى Ù†ÙŽÙÂْسÙÂيتَÙÂَلَّتْنَ وَأَنَا أَتَعَلَّم٠اليَوْمَ أَرْبَعÙÂينَ آيَةً أَوْ Ù†ÙŽØÂْوَهَا، ÙˆÙŽØ¥ÙÂذَا قَرَأْتÙÂهَا عَلَى Ù†ÙŽÙÂْسÙÂÙŠÙÂَكَأَنَّمَا ÙƒÙÂتَاب٠اللَّه٠بَيْنَ عَيْنَيَّ، وَلَقَدْ ÙƒÙÂنْت٠أَسْمَع٠الØÂَدÙÂيثَ ÙÂÙŽØ¥ÙÂذَا رَدَّدْتÙÂه٠تَÙÂَلَّتَ وَأَنَا اليَوْمَ أَسْمَع٠الأَØÂَادÙÂيثَ ÙÂÙŽØ¥ÙÂذَا تَØÂَدَّثْت٠بÙÂهَا لَمْ أَخْرÙÂمْ Ù…ÙÂنْهَا ØÂَرْÙÂًا
“Ya Rasulullah, sungguh sebelum ini aku hanya bisa menghafal lebih kurang empat ayat saja. Itu pun mudah lepas. Tapi sekarang aku bisa menghafal lebih kurang empat puluh ayat. Kalau aku baca seolah-olah al-Quran itu ada di depan mataku. Sebelumnya, kalau aku mendengar hadits dan aku ulang ia mudah lepas. Tapi sekarang kalau aku dengar hadits dan aku sampaikan tidak satu huruf pun yang tinggal.â€Â
***
Amalan ini ternyata juga biasa dilakukan di beberapa pesantren dan madrasah di Indonesia. Bahkan ada karya tulis ilmiah (skripsi dan tesis) yang melakukan penelitian tentang hal ini.
Karena Syekh Muhammad Ghazali telah merasakan sendiri manfaatnya, saya pun terdorong untuk mengamalkannya karena saya juga mengalami masalah pada hafalan. Tapi sebelum mengamalkannya, saya ingin mencek dulu kekuatan haditsnya.
Ternyata penilaian para ulama hadits mengenai hadits ini sangat beragam.
Imam Tirmidzi yang meriwayatkan hadits ini mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib :
هَذَا ØÂَدÙÂيثٌ ØÂَسَنٌ غَرÙÂيبٌ لَا نَعْرÙÂÙÂÙÂه٠إÙÂلَّا Ù…ÙÂنْ ØÂَدÙÂيث٠الوَلÙÂيد٠بْن٠مÙÂسْلÙÂÙ…ÙÂ
Imam al-Hakim yang juga meriwayatkan hadits ini dalam al-Mustadrak mengatakan bahwa hadits ini shahih:
صَØÂÙÂيؠعَلَى شَرط الشَّيْخَيْنÙÂ
Sudah dimaklumi bahwa Imam al-Hakim termasuk mutasahil (longgar) dalam menshahihkan hadits. Penilaian Imam al-Hakim ini dibantah oleh Imam adz-Dzahabi dalam Talkhis al-Mustadrak. Ia mengatakan bahwa hadits ini munkar dan syadz. Tapi ia mengaku ‘bingung’ melihat keindahan sanad hadits ini. Artinya, secara zhahir sanad hadits ini sangat bagus. Tapi ia tidak ‘nyaman’ dengan matannya.
هذا ØÂديث منكر شاذ أخا٠لا يكونمصنوعا وقد ØÂيرنيوالله جودة سنده
Hal senada ia ungkapkan juga dalam Mizan al-I’tidal:
وهو مع نظاÙÂØ© سنده ØÂديث منكر جدًا ÙÂينÙÂسى منه شيء، ÙÂالله أعلم
Kemungkinan yang membuat Imam Dzahabi menilai matan hadits ini munkar adalah karena mirip dengan penyampaian para al-Qusshash (para penceramah yang biasa memotivasi masyarakat dengan hal-hal yang tidak punya dasar), seperti disampaikan Imam Ibnu Rajab dalam Syarah ‘Ilal Tirmidzi:
إنه يشبه Ø£ØÂاديث القصاص
Sementara itu Imam Ibnu al-Jauzi dengan ‘berani’ menghukumi hadits ini sebagai maudhu’. Ia beralasan:
الْوَلÙÂيد ÙŠÙÂدَلس التَّسْوÙÂÙŠÙŽØ© وَلَا أتهم بÙÂه٠إÙÂلَّا النقاش شيخ الدارَقÙÂطْنيّ ÙÂَإنَّه٠مÙÂنكر الْØÂَدÙÂيث
“Walid men-tadlis taswiyah. Saya tidak menuduh (memalsukan hadits ini) kecuali an-Naqqasy guru dari Daruquthni karena sesungguhnya ia seorang munkar hadits.â€Â
Sudah masyhur juga bahwa Ibnu al-Jauzi termasuk mutasahil dalam memberikan cap palsu pada hadits.
Karena itu tuduhan Ibnu al-Jauzi ini dibantah oleh al-Hafizh Ibnu Hajar:
هَذَا الْكَلَام ÙƒÙÂله تهاÙÂت والنقاش بَرÙÂيء منعهدته ÙÂÙŽØ¥ÙÂنالØÂَدÙÂيث أخرجه التّÙÂرْمÙÂذÙÂيّ ÙˆÙŽØÂسنه وَالْØÂَاكÙÂÙ… وَصَØÂØÂه٠وَالْبَيْهَقÙÂيّ منطَرÙÂيق لَيْسَ ÙÂÙÂيهَا النقاش وَلَا أَبÙÂÙˆ صَالؠوَلَا Ù…ÙÂØÂَمَّد بنإÙÂبْرَاهÙÂيم
“Perkataan ini semuanya ‘ngawur’. An-Naqqasy tidak bersalah dalam hal ini karena hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dihasankannya, diriwayatkan oleh al-Hakim dan dishahihkannya, dan diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi dari jalur yang tidak ada di sana an-Naqqasy, Abu Shalih atau Muhammad bin Ibrahim.â€Â
Pendapat ulama hadits kontemporer tentang hadits ini juga beragam. Syekh Albani dalam Silsilah Ahadits Dha’ifah menyatakan bahwa hadits ini maudhu’. Sementara itu Syekh Abdul Qadir al-Arnauth dalam tahqiqnya mengatakan bahwa hadits dari jalur Tirmidzi itu sanadnya jayyid.
Ini baru sekelumit kajian dari segi haditsnya, belum kajian dari segi istinbathnya. Tapi setidaknya ini bisa menjadi bahan awal bagi yang ingin mengkaji lebih jauh. Juga bagi yang sudah atau akan melakukan shalat dan doa untuk menghafal al-Quran tapi belum tahu dasarnya.
والله تعالى أعلم وأØÂكم
[YJ]
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi