Dasar Hukum Bacaan Bilal Menjelang Khatib Naik Mimbar Khutbah
Dasar Hukum Bacaan Bilal Menjelang Khatib Naik Mimbar Khutbah
Sebelum khatib maju menyampaikan khutbahnya, terlebih dahulu biasanya kita mendengar pembacaan tarqiyyah, bacaan sebagai tanda khatib akan segera naik ke atas mimbar. Secara bahasa tarqiyyah berarti “menaikanâ€.
Petugas yang membacanya disebut muraqqi atau bilal, biasanya ia sekaligus bertindak sebagai muadzin. Apakah tradisi pembacaan tarqiyyah oleh muraqqi tersebut disebut bid’ah dan bagaimana hukumnya?
Sebelum dijawab mengenai status hukumnya, perlu diketahui terlebih dahulu bacaan yang terkandung dalam tarqiyyah. Demikian teks pembacaan tarqiyyah yang terlaku di beberapa daerah:
Ù…ÙŽØ¹ÙŽØ§Ø´ÙØ±ÙŽØ§Ù„Ù’Ù…ÙØ³Ù’Ù„ÙÙ…Ùينَ، وَزÙمْرَةَ Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØ¤Ù’Ù…ÙÙ†Ùينَ رَØÙÙ…ÙŽÙƒÙÙ…Ù Ø§Ù„Ù„Ù‡ÙØŒ رÙÙˆÙÙŠÙŽ عَنْ أَبÙÙ‰ Ù‡ÙØ±ÙŽÙŠÙ’رَةَ رَضÙÙŠÙŽ الله٠عَنْه٠أَنَّه٠قَالَ، قَالَ رَسÙول٠الله٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ Ù‚Ùلْتَ Ù„ÙØµÙŽØ§ØÙبÙÙƒÙŽ يَوْمَ الْجÙÙ…ÙØ¹ÙŽØ©Ù Ø£ÙŽÙ†Ù’ØµÙØªÙ’ØŒ وَاْلإÙÙ…ÙŽØ§Ù…Ù ÙŠÙŽØ®Ù’Ø·ÙØ¨Ù Ùَقَدْ لَغَوْتَ (Ø£ÙŽÙ†Ù’ØµÙØªÙوا وَاسْمَعÙوا ÙˆÙŽØ£ÙŽØ·ÙيعÙوا رَØÙÙ…ÙŽÙƒÙم٠الله٠٢×) Ø£ÙŽÙ†Ù’ØµÙØªÙوا وَاسْمَعÙوا ÙˆÙŽØ£ÙŽØ·ÙيعÙوا لَعَلَّكÙمْ ØªÙØ±Ù’ØÙŽÙ…Ùونَ ١×
Setelah bilal selesai membaca kalimat di atas, kemudian khatib maju menerima tongkat dan ketika naik ke atas mimbar, bilal membaca doa shalawat di bawah ini:
اللَّـٰهÙمَّ صَلÙÙ‘ عَلَى سَيÙّدÙنَا Ù…ÙØÙŽÙ…Ù‘ÙŽØ¯Ù Ù¢Ã— ØŒ اللَّـٰهÙمَّ صَلÙÙ‘ عَلَى سَيÙّدÙنَا ÙˆÙŽØÙŽØ¨ÙيبÙنَا ÙˆÙŽØ´ÙŽÙÙيعÙنَا وَمَوْلاَنَا Ù…ÙØÙŽÙ…Ù‘ÙŽØ¯Ù ÙˆÙŽØ³ÙŽÙ„Ùّمْ وَرَضÙÙŠÙŽ الله٠تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَنْ سَادَتÙنَا أَصْØÙŽØ§Ø¨Ù رَسÙول٠الله٠أَجْمَعÙينَ
Kemudian setelah khatib berada di atas mimbar, bilal menghadap kiblat dan membaca doa sebagai berikut:
اللَّـٰهÙمَّ صَلÙÙ‘ وَسَلÙّمْ عَلَى سَيÙّدÙنَا وَمَوْلاَنَا Ù…ÙØÙŽÙ…Ù‘ÙŽØ¯Ù ÙˆÙŽØ¹ÙŽÙ„ÙŽÙ‰ آل٠سَيÙّدÙنَا Ù…ÙØÙŽÙ…Ù‘ÙŽØ¯ÙØŒ اللَّـٰهÙمَّ Ù‚ÙŽÙˆÙÙ‘ Ø§Ù’Ù„Ø¥ÙØ³Ù’لاَمَ وَاْلإÙيمَانَ، Ù…ÙÙ†ÙŽ Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØ³Ù’Ù„ÙÙ…Ùينَ ÙˆÙŽØ§Ù„Ù’Ù…ÙØ³Ù’Ù„ÙÙ…ÙŽØ§ØªÙØŒ ÙˆÙŽØ§Ù„Ù’Ù…ÙØ¤Ù’Ù…ÙÙ†Ùينَ ÙˆÙŽØ§Ù„Ù’Ù…ÙØ¤Ù’Ù…ÙÙ†ÙŽØ§ØªÙØŒ اْلأَØÙ’يَاء٠مÙنْهÙمْ ÙˆÙŽØ§Ù’Ù„Ø£ÙŽÙ…Ù’ÙˆÙŽØ§ØªÙØŒ ÙˆÙŽØ§Ù†Ù’ØµÙØ±Ù’Ù‡Ùمْ عَلَى Ù…ÙØ¹ÙŽØ§Ù†ÙدÙيْ الدÙّينَ رَبÙÙ‘ اخْتÙمْ لَنَا Ù…Ùنْكَ Ø¨ÙØ§Ù„Ù’Ø®ÙŽÙŠÙ’Ø±ÙØŒ يَاخَيْرَ Ø§Ù„Ù†Ù‘ÙŽØ§ØµÙØ±Ùينَ، Ø¨ÙØ±ÙŽØÙ’Ù…ÙŽØªÙÙƒÙŽ يآأَرْØÙŽÙ…ÙŽ الرَّاØÙÙ…Ùينَ
Dari bacaan di atas, setidaknya mengandung empat hal. Pertama, anjuran mendengarkan secara seksama khutbahnya khatib. Kedua, larangan berbicara saat khutbah berlangsung. Ketiga, pembacaan shalawat kepada Nabi. Keempat, mendoakan kaum muslimin dan muslimat. Keempat isi kandungan tarqiyyah tersebut merupakan hal yang positif.
Tradisi pembacaan tarqiyyah menurut mayoritas ulama adalah bid’ah hasanah (positif). Meski tidak pernah ada di zaman Nabi dan tiga khalifah setelahnya, namun isi kandungan tarqiyyah mengarah kepada hal yang positif. Tidak setiap hal yang baru disebut bid’ah yang tercela—selama tercakup dalam dalil-dalil anjuran umum, maka tergolong hal yang baik, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama dalam kajian tentang bid’ah.
Syekh Syihabuddin al-Qalyubi mengatakan:
ÙØ±Ø¹ - اتخاذ المرقي المعرو٠بدعة ØØ³Ù†Ø© لما Ùيها من Ø§Ù„ØØ« على الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم بقراءة الآية المكرمة وطلب الإنصات بقراءة Ø§Ù„ØØ¯ÙŠØ« الصØÙŠØ الذي كان صلى الله عليه وسلم يقرؤه ÙÙŠ خطبه ولم يرد أنه ولا Ø§Ù„Ø®Ù„ÙØ§Ø¡ بعده اتخذوا مرقيا
“(Sebuah cabangan permasalahan). Mengangkat muraqqi sebagaimana tradisi yang terlaku adalah bid’ah yang baik karena mengandung hal yang positif berupa anjuran membaca shalawat kepada Nabi dengan membaca ayat Al-Qur’an, anjuran diam saat khutbah dengan menyebutkan dalil hadits shahih yang dibaca Nabi dalam beberapa khutbahnya. Tidak ada dalil yang menyebutkan bahwa Nabi dan tiga khalifah setelahnya mengangkat seorang muraqqi.†(Syekh Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009, juz 1, halaman 419).
Saat ditanya tentang ritual yang dilakukan muraqqi, Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli mengatakan:
ÙØ¹Ù„Ù… أن هذا بدعة لكنها ØØ³Ù†Ø© ÙÙÙŠ قراءة الآية الكريمة تنبيه وترغيب ÙÙŠ الإتيان بالصلاة على النبي ÙÙŠ هذا اليوم العظيم المطلوب Ùيه إكثارها ÙˆÙÙŠ قراءة الخبر بعد الأذان وقبل الخطبة ميقظ للمكل٠لاجتناب الكلام Ø§Ù„Ù…ØØ±Ù… أو المكروه ÙÙŠ هذا الوقت على اختلا٠العلماء Ùيه وقد كان النبي يقول هذا الخبر على المنبر ÙÙŠ خطبته إهـ
“Maka dapat diketahui bahwa tarqiyyah adalah bid’ah akan tetapi bid’ah yang baik. Dalam pembacaan ayat suci Al-Qur’an (yang berkaitan anjuran membaca shalawat) merupakan sebuah peringatan dan motivasi untuk mebaca shalawat kepada Nabi di hari Jumat ini yang dianjurkan untuk memperbanyak bacaan shalawat. Pembacaan hadits setelah adzan dan sebelum khutbah mengingatkan mukallaf untuk menjauhi perkataan yang diharamkan atau dimakruhkan pada waktu ini (saat khutbah) sesuai dengan ikhtilaf ulama dalam masalah tersebut. Dan sesungguhnya Rasulullah membaca hadits tersebut saat menyampaikan khutbahnya di atas mimbarâ€. (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Fatawa al-Ramli Hamisy al-Fatawa al-Kubra, juz.1, hal.276, Beirut-Dar al-Fikr, cetakan tahun 1983, tanpa keterangan cetak).
Bahkan, menurut pandangan Syekh Ibnu Hajar sebagaimana dikutip oleh Syekh Sulaiman al-Jamal, tradisi muraqqi sama sekali tidak bisa disebut bid’ah, bahkan tarqiyyah hukumnya sunah. Sebab tradisi tersebut memiliki dalil dalam hadits, yaitu saat melaksanakan khutbah haji wada’, Rasulullah memerintahkan salah seorang sahabat untuk memberi instruksi kepada jamaah untuk mendengarkan secara seksama khutbahnya Nabi.
Syekh Sulaiman al-Jamal menegaskan:
قال ØØ¬ وأقول يستدل لذلك أي للسنة بأنه صلى الله عليه وسلم أمر من يستنصت له الناس عند إرادته خطبة منى ÙÙŠ ØØ¬Ø© الوداع وهذا شأن المرقى Ùلا يدخل ÙÙŠ ØØ¯ البدعة أصلا إهـ
“Syekh Ibnu Hajar berkata, saya mengatakan, dalil mengangkat muraqqi dari sunah Nabi adalah bahwa Rasulullah memerintahkan seseorang untuk mengintruksikan manusia untuk diam saat beliau Nabi hendak menyampaikan khutbah Mina di Haji wada’, yang demikian ini adalah ciri khas dari seorang muraqqi, maka tradisi tarqiyyah sama sekali tidak masuk dalam kategori bid’ah.†(Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab, Beirut, Dar al-Fikr, tanpa tahun, juz 2, halaman 35).
Simpulannya, tradisi pembacaan tarqiyyah merupakan hal yang baik untuk dilakukan dan dilestarikan. Meski ulama masih berbeda pendapat mengenai status bid’ahnya, namun mereka sepakat dalam satu titik kesimpulan yaitu tradisi tersebut bukan hal yang tercela, bahkan mengandung banyak hal positif. Oleh karena itu, tidak ada sama sekali dasar yang kuat untuk melarang atau memvonisnya sesat. Wallahu a’lam.
(M. Mubasysyarum Bih)
Sumber : NU Online
Sekedar berbagi semoga bermanfaat.