Belajar Sifat Tawadhu
BELAJAR SIFAT TAWADHU
Tawadhu’ adalah sifat yang amat mulia, namun sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merundukâ€.
Dengan merasa tidak lebih baik atau lebih mulia dari orang lain, seorang yang tawadu akan berusaha:
1. Memuliakan orang lain, karena ia menganggap bahwa orang lain lebih baik darinya serta tidak mudah meremehkan orang lain. Sikap ini akan memudahkan ia berinteraksi dengan orang lain dan dapat melahirkan ahklak yang mulia.
2. Berusaha terus memperbaiki dirinya dan meningkatkan kualitas diri karena ia merasa ada yang perlu ditingkatkan.
Memahami Tawadhu’
Tawadhu’ adalah ridho jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak .
Ibnu Hajar berkata, “Tawadhu’ adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.†(Fathul Bari, 11: 341)
Keutamaan Sifat Tawadhu’
Pertama: Sebab mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ Ù…Ùنْ مَال٠وَمَا زَادَ اللَّه٠عَبْدًا Ø¨ÙØ¹ÙŽÙْو٠إÙلاَّ Ø¹ÙØ²Ù‹Ù‘ا وَمَا تَوَاضَعَ Ø£ÙŽØÙŽØ¯ÙŒ Ù„Ùلَّه٠إÙلاَّ رَÙَعَه٠اللَّهÙ
“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.†(HR. Muslim no. 2588).
Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Syarh Shahih Muslim, 16: 142)
Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya,
وَبَرًّا بÙÙˆÙŽØ§Ù„ÙØ¯ÙŽØªÙÙŠ وَلَمْ يَجْعَلْنÙÙŠ جَبَّارًا Ø´ÙŽÙ‚Ùيًّا
“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.†(QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.
Kedua: Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.
Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
ÙˆÙŽØ¥ÙÙ†ÙŽÙ‘ اللَّهَ أَوْØÙŽÙ‰ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ÙŽÙ‘ أَنْ تَوَاضَعÙوا ØÙŽØªÙŽÙ‘Ù‰ لاَ ÙŠÙŽÙْخَرَ Ø£ÙŽØÙŽØ¯ÙŒ عَلَى Ø£ÙŽØÙŽØ¯Ù وَلاَ يَبْغÙÙ‰ Ø£ÙŽØÙŽØ¯ÙŒ عَلَى Ø£ÙŽØÙŽØ¯Ù
“Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.†(HR. Muslim no. 2865).
Nasehat Para Ulama Tentang Tawadhu’
قال Ø§Ù„ØØ³Ù† رØÙ…Ù‡ الله: هل تدرون ما التواضع؟ التواضع: أن تخرج من منزلك Ùلا تلقى مسلماً إلا رأيت له عليك ÙØ¶Ù„اً .
Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.â€
يقول Ø§Ù„Ø´Ø§ÙØ¹ÙŠ: « Ø£Ø±ÙØ¹ الناس قدرا : من لا يرى قدره ØŒ وأكبر الناس ÙØ¶Ù„ا : من لا يرى ÙØ¶Ù„Ù‡ »
Imam Asy Syafi’i berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.â€
قال عبد الله بن المبارك: “رأس٠التواضع٠أن تضَع Ù†ÙØ³ÙŽÙƒ عند من هو دونك ÙÙŠ نعمة٠الله ØØªÙ‰ تعلÙÙ…ÙŽÙ‡ أن ليس لك بدنياك عليه ÙØ¶Ù„ [أخرجه البيهقي ÙÙŠ الشعب
‘Abdullah bin Al Mubarrok berkata, “Puncak dari tawadhu’ adalah engkau meletakkan dirimu di bawah orang yang lebih rendah darimu dalam nikmat Allah, sampai-sampai engkau memberitahukannya bahwa engkau tidaklah semulia dirinya.â€
Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.
اللّهÙÙ…ÙŽÙ‘ اهْدÙÙ†ÙÙ‰ لأَØÙ’سَن٠الأَخْلاَق٠لاَ يَهْدÙÙ‰ لأَØÙ’سَنÙهَا Ø¥Ùلاَّ أَنْتَ
“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)†(HR. Muslim no. 771).
Wallahu waliyyut taufiq.
Sumber FB Ustadz : Alhabib Quraisy Baharun
14 Juni 2021·