Hukum Tahlilan Menurut Mazhab Empat
Hukum Tahlilan Menurut Mazhab Empat
Tahlilan merupakan kegiatan membaca serangkaian ayat Al-Qur’an dan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir), di mana pahala bacaan tersebut dihadiahkan untuk para arwah (mayit) yang disebutkan oleh pembaca atau oleh pemilik hajat. Tahlilan biasanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu, seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, atau ke-1000-nya. Tahlilan juga sering dilaksanakan secara rutin pada malam Jumat atau malam-malam tertentu lainnya. Setelah tahlilan, biasanya pemilik hajat akan memberikan hidangan makanan untuk dimakan di tempat atau dibawa pulang.
Dengan demikian, inti tahlilan adalah: Pertama, menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. Kedua, mengkhususkan bacaan itu pada waktu-waktu tertentu, yaitu tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, dan sebagainya. Ketiga, bersedekah untuk mayit, berupa pemberian makanan untuk peserta tahlilan. Lalu, bagaimanakah pendapat para ulama terkait ketiga masalah tersebut?
1. Hukum menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. Pertama, ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, dan ulama mazhab Hanbali menegaskan, menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an serta kalimat thayyibah kepada mayit hukumnya boleh, dan pahalanya sampai kepada sang mayit. Syekh Az-Zaila’i dari mazhab Hanafi menyebutkan:
أَنَّ الْإÙنْسَانَ لَه٠أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلÙÙ‡Ù Ù„ÙØºÙŽÙŠÙ’رÙÙ‡ÙØŒ عÙنْدَ أَهْل٠السّÙÙ†Ù‘ÙŽØ©Ù ÙˆÙŽØ§Ù„Ù’Ø¬ÙŽÙ…ÙŽØ§Ø¹ÙŽØ©ÙØŒ صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ ØÙŽØ¬Ù‘ًا أَوْ صَدَقَةً أَوْ Ù‚ÙØ±ÙŽØ§Ø¡ÙŽØ©ÙŽ Ù‚ÙØ±Ù’آن٠أَوْ الْأَذْكَارَ إلَى غَيْر٠ذَلÙÙƒÙŽ Ù…Ùنْ جَمÙÙŠØ¹Ù Ø£ÙŽÙ†Ù’ÙˆÙŽØ§Ø¹Ù Ø§Ù„Ù’Ø¨ÙØ±Ù‘ÙØŒ وَيَصÙل٠ذَلÙÙƒÙŽ إلَى Ø§Ù„Ù’Ù…ÙŽÙŠÙ‘ÙØªÙ وَيَنْÙَعÙÙ‡Ù.
Bahwa seseorang diperbolehkan menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan Qur’an, zikir, atau sebagainya, berupa semua jenis amal baik. Pahala itu sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya. (Lihat: Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq, juz 5, h. 131).
Sedangkan, Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menyebutkan:
ÙˆÙŽØ¥Ùنْ قَرَأَ الرَّجÙÙ„ÙØŒ وَأَهْدَى ثَوَابَ Ù‚ÙØ±ÙŽØ§Ø¡ÙŽØªÙÙ‡Ù Ù„ÙÙ„Ù’Ù…ÙŽÙŠÙ‘ÙØªÙØŒ جَازَ ذَلÙÙƒÙŽØŒ ÙˆÙŽØÙŽØµÙŽÙ„ÙŽ Ù„ÙÙ„Ù’Ù…ÙŽÙŠÙ‘ÙØªÙ أَجْرÙÙ‡Ù.
Jika seseorang membaca Al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai kepada mayit. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, h. 173).
Senada dengan kedua ulama di atas, imam Nawawi dari mazhab Syafi’i menuturkan:
ÙˆÙŽÙŠÙØ³Ù’تَØÙŽØ¨Ù‘Ù Ù„ÙÙ„Ø²Ù‘ÙŽØ§Ø¦ÙØ±Ù أَنْ ÙŠÙØ³ÙŽÙ„Ù‘ÙÙ…ÙŽ عَلَى Ø§Ù„Ù’Ù…ÙŽÙ‚ÙŽØ§Ø¨ÙØ±ÙØŒ وَيَدْعÙوْ Ù„Ùمَنْ يَزÙوْرÙÙ‡Ù ÙˆÙŽÙ„ÙØ¬ÙŽÙ…ÙÙŠÙ’Ø¹Ù Ø£ÙŽÙ‡Ù’Ù„Ù Ø§Ù„Ù’Ù…ÙŽÙ‚Ù’Ø¨ÙŽØ±ÙŽØ©ÙØŒ وَالأَÙْضَل٠أَنْ ÙŠÙŽÙƒÙوْنَ Ø§Ù„Ø³Ù‘ÙŽÙ„ÙŽØ§Ù…Ù ÙˆÙŽØ§Ù„Ø¯Ù‘ÙØ¹ÙŽØ§Ø¡Ù بÙمَا ثَبَتَ ÙÙÙŠ الْØÙŽØ¯ÙÙŠÙ’Ø«ÙØŒ ÙˆÙŽÙŠÙØ³Ù’تَØÙŽØ¨Ù‘٠أَنْ يَقْرَأَ Ù…ÙÙ†ÙŽ Ø§Ù„Ù’Ù‚ÙØ±Ù’آن٠مَا تَيَسَّرَ، وَيَدْعÙÙˆ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ Ø¹ÙŽÙ‚ÙØ¨ÙŽÙ‡ÙŽØ§.
Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada (penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunnahkan membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an, dan berdoa untuk mereka setelahnya. (Lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 311).
Syekh Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali juga menuturkan:
ÙˆÙŽØ£ÙŽÙŠÙ‘Ù Ù‚ÙØ±Ù’بَة٠Ùَعَلَهَا، وَجَعَلَ ثَوَابَهَا Ù„ÙÙ„Ù’Ù…ÙŽÙŠÙ‘ÙØªÙ Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØ³Ù’Ù„ÙÙ…ÙØŒ Ù†ÙŽÙَعَه٠ذَلÙÙƒÙŽØŒ إنْ شَاءَ اللَّهÙ. أَمَّا Ø§Ù„Ø¯Ù‘ÙØ¹ÙŽØ§Ø¡ÙØŒ ÙˆÙŽØ§Ù„ÙØ§Ø³Ù’ØªÙØºÙ’ÙÙŽØ§Ø±ÙØŒ ÙˆÙŽØ§Ù„ØµÙ‘ÙŽØ¯ÙŽÙ‚ÙŽØ©ÙØŒ ÙˆÙŽØ£ÙŽØ¯ÙŽØ§Ø¡Ù Ø§Ù„Ù’ÙˆÙŽØ§Ø¬ÙØ¨ÙŽØ§ØªÙØŒ Ùَلَا أَعْلَم٠ÙÙيه٠خÙلَاÙًا.
Dan apapun ibadah yang dia kerjakan, serta dia hadiahkan pahalanya kepada mayit muslim, akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar, sedekah, dan pelaksanaan kewajiban maka saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat (akan kebolehannya). (Lihat: Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 5, h. 79).
Di antara ulama yang membolehkan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit adalah Syekh Ibnu Taimiyyah. Dalam kitab Majmu’ul Fatawa disebutkan:
وَأَمَّا Ø§Ù„Ù’Ù‚ÙØ±ÙŽØ§Ø¡ÙŽØ©Ù وَالصَّدَقَة٠وَغَيْرÙÙ‡Ùمَا Ù…Ùنْ Ø£ÙŽØ¹Ù’Ù…ÙŽØ§Ù„Ù Ø§Ù„Ù’Ø¨ÙØ±Ù‘Ù Ùَلَا Ù†ÙØ²ÙŽØ§Ø¹ÙŽ Ø¨ÙŽÙŠÙ’Ù†ÙŽ عÙلَمَاء٠السّÙنَّة٠وَالْجَمَاعَة٠ÙÙÙŠ ÙˆÙØµÙÙˆÙ„Ù Ø«ÙŽÙˆÙŽØ§Ø¨Ù Ø§Ù„Ù’Ø¹ÙØ¨ÙŽØ§Ø¯ÙŽØ§ØªÙ الْمَالÙÙŠÙ‘ÙŽØ©Ù ÙƒÙŽØ§Ù„ØµÙ‘ÙŽØ¯ÙŽÙ‚ÙŽØ©Ù ÙˆÙŽØ§Ù„Ù’Ø¹ÙØªÙ’Ù‚ÙØŒ كَمَا يَصÙل٠إلَيْه٠أَيْضًا Ø§Ù„Ø¯Ù‘ÙØ¹ÙŽØ§Ø¡Ù ÙˆÙŽØ§Ù„ÙØ§Ø³Ù’ØªÙØºÙ’Ùَار٠وَالصَّلَاة٠عَلَيْه٠صَلَاة٠الْجÙÙ†ÙŽØ§Ø²ÙŽØ©Ù ÙˆÙŽØ§Ù„Ø¯Ù‘ÙØ¹ÙŽØ§Ø¡Ù عÙنْدَ قَبْرÙÙ‡Ù. وَتَنَازَعÙوا ÙÙÙŠ ÙˆÙØµÙول٠الْأَعْمَال٠الْبَدَنÙÙŠÙ‘ÙŽØ©ÙØŒ ÙƒÙŽØ§Ù„ØµÙ‘ÙŽÙˆÙ’Ù…Ù ÙˆÙŽØ§Ù„ØµÙ‘ÙŽÙ„ÙŽØ§Ø©Ù ÙˆÙŽØ§Ù„Ù’Ù‚ÙØ±ÙŽØ§Ø¡ÙŽØ©Ù. وَالصَّوَاب٠أَنَّ الْجَمÙيعَ يَصÙل٠إلَيْهÙ.
Dan adapun bacaan, sedekah, dan sebagainya, berupa amal-amal kebaikan, maka tidak ada perselisihan di antara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah akan sampainya pahala ibadah harta, seperti sedekah dan pembebasan (memerdekakan budak). Sebagaimana sampai kepada mayit juga, pahala doa, istighfar, shalat jenazah, dan doa di samping kuburannya. Para ulama berbeda pendapat soal sampainya pahala amal jasmani, seperti puasa, shalat, dan bacaan. Menurut pendapat yang benar, semua amal itu sampai kepada mayit. (Lihat: Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ul Fatawa, juz 24, h. 366).
Kedua, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain menyatakan, pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah tidak sampai kepada mayit, karenanya hal itu tidak diperbolehkan. Syekh Ad-Dasuqi dari mazhab Maliki menulis:
قَالَ ÙÙÙŠ التَّوْضÙÙŠØÙ ÙÙÙŠ بَاب٠الْØÙŽØ¬Ù‘Ù: الْمَذْهَب٠أَنَّ Ø§Ù„Ù’Ù‚ÙØ±ÙŽØ§Ø¡ÙŽØ©ÙŽ Ù„ÙŽØ§ تَصÙÙ„Ù Ù„ÙÙ„Ù’Ù…ÙŽÙŠÙ‘ÙØªÙ ØÙŽÙƒÙŽØ§Ù‡Ù الْقَرَاÙÙيّ٠ÙÙÙŠ Ù‚ÙŽÙˆÙŽØ§Ø¹ÙØ¯Ùه٠وَالشَّيْخ٠ابْن٠أَبÙÙŠ جَمْرَةَ
Penulis kitab At-Taudhih berkata dalam kitab At-Taudhih, bab Haji: Pendapat yang diikuti dalam mazhab Maliki adalah bahwa pahala bacaan tidak sampai kepada mayit. Pendapat ini diceritakan oleh Syekh Qarafi dalam kitab Qawaidnya, dan Syekh Ibnu Abi Jamrah. (Lihat: Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, h. 173).
Dari paparan di atas, para ulama berbeda pendapat tentang hukum menghadiahkan bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit. Mayoritas ulama meliputi ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi’i, ulama mazhab Hanbali, dan Syekh Ibnu Taimiyyah membolehkannya. Sedangkan, sebagian ulama mazhab Maliki yang lain melarangnya.
2. Hukum mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah.
Mayoritas ulama membolehkan pengkhususan waktu tertentu untuk beribadah atau membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, seperti malam Jumat atau setelah melaksanakan shalat lima waktu. Mereka berpegangan kepada hadis riwayat Ibnu Umar:
عَن٠ابْن٠عÙمَرَ رَضÙÙŠÙŽ الله٠عَنْهÙمَا قَالَ: كَانَ النَّبÙىّ٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ يَأْتÙيْ Ù…ÙŽØ³Ù’Ø¬ÙØ¯ÙŽ Ù‚ÙØ¨ÙŽØ§Ø¡Ù ÙƒÙلَّ سَبْت٠مَاشÙيًا ÙˆÙŽØ±ÙŽØ§ÙƒÙØ¨Ù‹Ø§. وَكَانَ عَبْد٠اللَّه٠رَضÙÙŠÙŽ الله٠عَنْهÙمَا ÙŠÙŽÙْعَلÙÙ‡Ù.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendara. Abdullah ibnu Umar radhiyallahu anhuma juga selalu melakukannya.
Mengomentari hadits tersebut, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, hadits ini menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari atau sebagian waktu untuk melaksanakan amal saleh, dan melanggengkannya. (Lihat: Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 4, h. 197).
Artinya, mengkhususkan hari tertentu seperti tujuh hari berturut-turut dari kematian seseorang, hari ke-40, ke-100, ke-1000, malam Jumat, atau malam lainnya untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah, hukumnya boleh.
3. Hukum bersedekah untuk mayit.
Para ulama sepakat bahwa bersedekah untuk mayit hukumnya boleh, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu anha:
أَنَّ رَجÙلاً أَتَى النَّبÙيَّ صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ùَقَالَ: يَا رَسÙولَ اللَّه٠إÙنَّ Ø£ÙمّÙÙŠÙŽ اÙْتÙÙ„ÙØªÙŽØªÙ’ Ù†ÙŽÙْسَهَا، وَلَمْ تÙوص٠وَأَظÙنّÙهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ. Ø£ÙŽÙَلَهَا أَجْرٌ Ø¥Ùنْ تَصَدَّقْت٠عَنْهَا. قَالَ «نَعَمْ».
Seseorang mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu berkata: “Hai Rasulullah. Sesungguhnya ibuku meninggal dalam keadaan tiba-tiba, dan belum berwasiat. Saya rasa seandainya sebelum meninggal dia sempat berbicara, dia akan bersedekah. Apakah dia mendapatkan pahala jika saya bersedekah untuknya?†Rasul bersabda: “Ya.â€
Mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi berkata, hadits ini menjelaskan bahwa bersedekah untuk mayit bermanfaat, dan pahala sedekah sampai kepadanya. Para ulama bersepakat tentang sampainya pahala sedekah kepada mayit. (Lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi An-Nawawi, juz 7, h. 90).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tahlilan diperbolehkan dalam Islam, sebab mayoritas ulama menegaskan kebolehan menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit, sebagaimana mereka menyatakan kebolehan mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an dan kalimat thayyibah. Para ulama juga sepakat akan kebolehan bersedekah untuk mayit. Wallahu A’lam.
Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung
- Mengenal Tradisi Mabbaca-baca Bugis Bone
- Benarkah Ahli Kubur Mengenali Orang yang Menziarahinya?
- Susunan Bacaan Tahlil, Doa Arwah Lengkap dan Terjemahannya
- Megengan atau Tradisi Penyambutan Ramadhan dalam Islam
- Surat Yasin, Susunan Tahlil Singkat dan Doa Arwah
- Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan
- Hukum Tahlilan Menurut Mazhab Empat