Empat Derajat Amar Makruf Nahi Munkar Kepada Penguasa

EMPAT DERAJAT AMAR MAKRUF NAHI MUNKAR KEPADA PENGUASA MENURUT IMAM GHAZALI
البَاب٠الرَّابÙÂع٠ÙÂÙÂيأَمْر٠الأÙÂمَرَاء٠وَالسَّلاَطÙÂيْن٠وَنَهْيÙÂÙ‡ÙÂمْ عَن٠المÙÂنْكَرÙÂ. قَدْ ذَكَرْنَا دَرَجَات٠الأَمْر٠بÙÂالمَعْرÙÂوْÙÂ٠وَأَنَّ أَوَّلَه٠التَّعْرÙÂيْÙÂ٠وَثَانÙÂيَه٠الوَعْظ٠وَثَالÙÂثَه٠التَّخْشÙÂيْن٠ÙÂÙÂيالقَوْل٠وَرَابÙÂعَه٠المَنْع٠بÙÂالقَهْر٠ÙÂÙÂيالØÂَمْل٠عَلَى الØÂَقّ٠بÙÂالضَّرْب٠وَالعÙÂÙ‚ÙÂوْبَةÙÂ.
“(Bab Keempat tentang para pemimpin dan sultan, serta mencegah mereka dari kemungkaran). Telah kami jelaskan sebelumnya tentang tingkatan amar ma’ruf dan bahwa yang (1) pertama adalah mengenalkan (ta’rif), (2) kedua, nasihat, (3) ketiga, kasar dalam ucapan, (4) keempat, mencegah dengan paksaan untuk membawa pada kebenaran dengan memukul dan sanksi.â€Â
وَالجَائÙÂز٠مÙÂنْ جÙÂمْلَة٠ذَلÙÂÙƒÙŽ مَعَ السَّلاَطÙÂيْن٠الرّÙÂتْبَتَان٠الأÙÂوْلَيَان٠وَهÙÂمَا التَّعْرÙÂيْÙÂ٠وَالوَعْظÙÂ. وَأَمَّا المَنْع٠بÙÂالقَهْر٠ÙÂَلَيْسَ ذَلÙÂÙƒÙŽ Ù„ÙÂØ¢ØÂَاد٠الرَّعÙÂيَّة٠مَعَ السّÙÂلْطَان٠ÙÂÙŽØ¥ÙÂنَّ ذَلÙÂÙƒÙŽ ÙŠÙÂØÂَرّÙÂك٠الÙÂÙÂتْنَةَ ÙˆÙŽÙŠÙÂهيج٠الشَّرَّ ÙˆÙŽÙŠÙŽÙƒÙÂوْن٠مَا ÙŠÙÂتَوَلَّد٠مÙÂنْه٠مÙÂÙ†ÙŽ المَØÂْذÙÂوْر٠أَكْثَر.
“Dari kesemua itu, yang boleh bersama pemimpin adalah dua yang pertama, yaitu mengenalkan dan nasihat. Adapun mencegah dengan paksaan, maka rakyat tak bisa melakukan hal itu bersama pemimpin, karena hal tersebut akan memicu fitnah dan menimbulkan keburukan. Akhirnya dampak negatifnya lebih besar.
وَأَمَّا التَّخْشÙÂيْن٠ÙÂÙÂيالقَوْل٠كَقَوْلÙÂه٠يَا ظَالÙÂم٠يَا مَنْ لاَ يَخَاÙÂ٠اللهَ وَمَا يَجْرÙÂيمَجْرَاه٠ÙÂَذَلÙÂك٠إÙÂنْ كَانَ ÙŠÙÂØÂَرّÙÂك٠ÙÂÙÂتْنَةً يَتَعَدَّى شَرّÙÂهَا Ø¥ÙÂÙ„ÙŽÙ‰ غَيْرÙÂه٠لَمْ يَجÙÂزْ ÙˆÙŽØ¥ÙÂنْ كَانَ لاَ يَخَاÙÂ٠إÙÂلاَّ عَلَى Ù†ÙŽÙÂْسÙÂه٠ÙÂÙŽÙ‡ÙÂÙˆÙŽ جَائÙÂزٌ بَلْ مَنْدÙÂوْبٌ Ø¥ÙÂلَيْه٠ÙÂَلَقَدْ كَانَ Ù…ÙÂنْ عَادَة٠السَّلَÙÂ٠التَّعَرّÙÂضَ Ù„ÙÂلأَخْطَار٠وَالتَّصْرÙÂÙŠØÂÙŽ بÙÂالإÙÂنْكَار٠مÙÂنْ غَيْر٠مÙÂبَالاَة٠بÙÂهَلَاك٠المَهْجَة٠وَالتَّعَرّÙÂضَ Ù„ÙÂأَنْوَاع٠العَذَاب٠لÙÂعÙÂلْمÙÂÙ‡ÙÂمْ بÙÂأَنَّ ذَلÙÂÙƒÙŽ شَهَادَةٌ. Ø¥ØÂياء علوم الدين(2/ 343)
Adapun kasar dalam ucapan, dengan mengatakan ‘Wahai, si zhalim!’, ‘Wahai orang yang tak takut pada Allah!’, atau yang lainnya, maka (dirinci): (1) jika dapat menimbulkan fitnah yang keburukannya berdampak pada orang lain, maka tidak boleh; (2) jika ia tak mengkhawatirkan dampak itu kecuali hanya mengenai dirinya maka boleh bahkan dianjurkan. Sungguh di antara tradisi salaf adalah siap menanggung resiko menghadapi bahaya dengan cara mengingkari (kedzaliman), tanpa peduli pada keselamatan diri dan siap menanggung resiko sanksi, karena mereka tahu bahwa hal itu adalah kesyahidan.†(al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, jilid 2, hal. 343)
Penjelasan ini menguatkan konklusi bahwa Aswaja sangat mengedepankan kondisifitas dan stabilitas umum. Bahkan sampai pada jenis nasihat dengan tegas pun, harus dapat dipastikan bahwa hal itu tak sampai menimbulkan dampak negatif kepada masyarakat secara umum.
Sumber FB Ustadz : Faris Khoirul Anam
13 Maret 2021 pada 09.40 ·